[Part 1] Island of the God

9.7K 803 37
                                    

Tresnané layu dimuncuk tunjungé putih
Tuh aking,tan payéh tan pagetih
Sawiréh telagané enyat nyarétcét
Ulung ka pangkungé dalem
Ditu I Enggung Poléng mangedékin

---

Malam belum begitu kelam, tapi hujan rintik-rintik dan percikan api langit membuat Pujawati gelisah di kamarnya yang besar. Janda berumur hampir empatpuluh itu memutuskan untuk berjalan-jalan di taman, di dekat kolam. Beberapa pelayan menemaninya. Seperti biasa, dia menikmati kopi pahit dan beberapa kue di dekat kolam sambil melihat gurami yang berseliweran.. Para pelayan tahu, janda itu begitu kesepian di tempat tinggalnya yang besar karena tidak mempunyai keturunan. Tapi, untuk mengangkat anak, bagi seorang berkasta Ksatria sungguh sulit. Banyak pertentangan diantara keluarga yang masih hidup. Pujawati tahu, mereka ketakutan, jika dia mengangkat anak, mereka tidak akan mendapat jatah harta darinya. Beberapa hotel besar di Denpasar dan kota penting di Indonesia akan diambil anak angkatnya.

"Grusak! Grusak!", tiba-tiba terdengar sesuatu dari rimbunan pohon mangga. "Hoi! Awas kalian!", Ki Angker berteriak galak ketika melihat beberapa orang anak memanjat pohon mangga di depan kolam. Dua orang anak berhasil kabur, tapi anak ketiga, yang terkecil, terpeleset, jatuh membentur mistar kolam. Pingsan.

Sudah biasa memang, anak-anak desa bawah mengincar mangga di villa. Terkenal manis dan besar-besar. Pasti anak kecil ini adalah anak desa bawah. "Biar kucari orang tua anak ini!", gerutu Ki Angker sambil membopong tubuh kecil itu. Anak kecil berkulit legam itu masih pingsan. Darah mengucur deras dari dahinya. Biasanya nurani Pujawati tak pernah terusik, tapi tiba-tiba hatinya tertoreh melihat anak itu, anak berumur tujuh tahun yang belum pernah dilihatnya, serasa dikenalnya. Meskipun badannya kerempeng, kulitnya hitam dan tubuhnya tidak terawat, tapi wajahnya memancarkan sesuatu, wajah-wajah Ksatria. "Tunggu Angker!", tanpa segan Pujawati mengangkat anak itu. "Panggilkan dokter dan rawat dia di sini dulu!", mendengar keinginan majikannya, Angker hanya mengernyit heran.

"Jadi kalian tidak bersama Ekala?", tanya Nyi Tungga. "Tidak Nyi, pasti dia tertangkap Ki Angker!", kata Rangga,. Dewa dan Galuh membenarkan. "Duh Hyangwidhi!", Nyi Tungga hanya bisa terisak. Ke tempat atas bukit dia tak berani, ke manapun dia berani melangkah, tapi tidak ke tempat itu!. Kesalahan masa lalu membuatnya jijik pada tempat itu. Seumur hidupnya, dia tak bisa menghapus masa lalunya. Masih diingatnya kejadian delapan tahun yang lalu, saat itu dia masih bekerja di pura, menari setiap Purnamasidhi untuk menarik turis asing. Malam itu, kejadian yang membuat hidupnya hitam dimulai. Selesai menari beberapa orang mendatanginya dan menculiknya. Ternyata dia diinginkan pemilik Tempat atas bukit. Dengan kejam, setelah menikmatinya, Rahadewa melemparnya keluar seperti sampah. Tunggadewi diusir dari rumahnya karena dianggap mencoreng nama baik keluarganya.

Bersama Ekala, anaknya, dia menjalani hidup penuh caci maki. Tapi bagaimanapun juga dia menjalaninya dengan tabah dan diam tanpa mau bicara siapa ayah Ekala. Anak itupun hanya tahu ayahnya sudah meninggal sebelum dia lahir. Meski tidak terawat, Ekala mewarisi garis ketampanan ayahnya, garis Ksatria. Tungga hanya bisa berharap, semoga kelak anak itu berjiwa putih, tapi keangkuhan Rahadewa seolah mengalir di nadi Ekala. Tiga bulan lalu Rahadewa meninggal, karena kecelakaan. Mobilnya jatuh ke jurang. Tanpa pernah sekalipun, seumur hidupnya, melihat Ekala atau menyentuhnya.

Pujawati memandangi wajah anak kecil di depannya. Badannya tergetar hebat. Tak salah lagi!. Takdir membawa anak ini ke tangannya. Wajah itu, adalah wajah suaminya, Rahadewa. Kelak jika dia dewasa, pasti akan mirip dengan ayahnya!. Pujawati menangis, benar, dia memang tidak pernah memiliki Rahadewa, meskipun dia istrinya, Rahadewa tak pernah mencintainya, mungkin itu yang membuat mereka tak bisa mempunyai keturunan. Dulu, dia dan Rahadewa hanya dijodohkan, pemuda angkuh dan sombong yang ketampanannya tak ada yang menandingi di pulau Dewata. Matanya setajam elang dan rambutnya seperti dewa Khrisna, ikal hitam. Pahatan lembut wajahnya berkebalikan dengan kekerasan hatinya. Pemuda itu menolak perjodohannya dengan Pujawati. Karena betapapun kerasnya sebuah batu, jika tertetesi embun cinta, pasti akan lunak juga. Rahadewa menyukai Dayu, putri seorang Brahman. Ayah Pujawati yang gila harta merencanakan kecelakaan yang menimpa Dayu, gadis itu jatuh ke jurang ketika habis mencuci baju. Pada kenyataannya, dia dikejar beberapa pemuda suruhan Ki Jaya, Dayu yang terpojok, terpeleset dan jatuh ke jurang. Beberapa bulan kemudian Rahadewa menyetujui pernikahannya dengan Pujawati. Seperti apapun Pujawati mencintai Raha, hati pria itu tak bergeming, malah melampiaskan dengan berjudi di luar. Itu masih bisa diterima Pujawati, tapi tidak jika Rahadewa main perempuan. Terakhir kali didengarnya Raha menghamili perempuan kasta bawah. Setelah diam-diam melihat Tunggadewi, Pujawati tahu kenapa Raha tertarik pada gadis desa itu, karena wajahnya mirip Dayu!.

Bulu mata lentik si anak mengerjap. Pujawati dengan sayang mengelus pipinya. "Benar-benar titisan Ksatria!", batinnya. "Meme!", anak itu bangun dan memeluknya. Ya Tuhan!. Apa ini takdir darimu?. Dokter mengatakan anak itu terkena gegar otak. Dia tidak ingat apapun dan sekarang menganggapnya ibu. Pujawati tersenyum. "Aku memang tak bisa memiliki ayahmu, tapi aku akan memilikimu, kamu anakku!", gumamnya.

Malam itu juga Pujawati mendatangi gubuk Tunggadewi dan mengutarakan maksudnya. "Anak itu harus mewarisi harta dan kekuasaan ayahnya!. Ini satu-satunya jalan agar hidupnya seperti apa yang seharusnya. Kamu harus menyerahkan anak itu padaku, karena sekarang aku ibunya!", kata Pujawati. "Tuanku, aku tak bisa melakukannya, dia harapanku satu-satunya, bahkan ayahnya pun tak menginginkannya!". "Bukannya tak ingin, Raha tak bisa, karena dia seorang Ksatria, sedangkan kau Sudra. Tapi lain lagi jika anakmu menjadi anakku, dia juga akan menjadi Ksatria. Dia memang harapanmu satu-satunya, tapi jika bersamamu, dia akan menderita!", kata Pujawati. Tunggadewi tak mengerti, kenapa Raha tak bisa mencintai wanita seanggun dan secantik Pujawati, dia hampir tak percaya kata-kata Pujawati, ceritanya tentang Rahadewa. "Dia tak pernah memberikan cintanya, kumohon serahkan anakmu padaku, aku berjanji akan membahagiakannya. Aku memang tak bisa memiliki Raha, tapi anaknya adalah obat bagiku!".



Love In BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang