Menikah?
Butuh berulang kali aku meyakinkan diri dengan pernyataan final yang keluar dari mulut seorang perempuan yang bersamaku satu jam yang lalu. Dia berhasil mengajakku berbincang disebuah coffe shop yang ada di Rumah Sakit ini tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara dan kemudian pergi meninggalkanku begitu saja.
Yang benar saja?
Masih terngiang-ngiang dengan jelas saat nyonya Marissa membicarakan tentang gaun pernikahan yang nantinya akan aku pakai dipesta pernikahan yang ia rencanakan, dengan undangan super mewah yang ditulis menggunakan tinta emas, serta pergelatan akbar pernikahan paling mewah sepanjang tahun ini.
Aku menghela nafas sebentar mencoba untuk berpikir, kemudian mencecap capuccino yang tadi belum sempat aku minum. Mulutku benar-benar dibuat menganga tak percaya mendengarkan nyonya Marissa yang terus bicara tentang pernikahan yang akan aku lakukan.
Aku tidak mungkin menikah. Maksudku, nyonya Marissa telah salah menilai tentang hubunganku dengan dokter Tama.
Tapi bagaimana aku menjelaskannya? Nonya Marissa terlalu senang mendengar kabar kalau anaknya mempunyai seorang kekasih tetapi nyatanya aku bukan kekasihnya. Bahkan aku hanyalah seorang perempuan yang diminta secara pribadi oleh dokter Tama untuk menjadi pemuas nafsunya. Tidak lebih.
Aku hanya memandang cangkir capuccino milik nyonya Marissa yang belum ia sentuh sama sekali. Wajahnya terlalu berbinar-binar dan perasaannya benar-benar sangat bahagia saat menceritakan betapa hebatnya pernikahan yang ia rencanakan untuk kami berdua hingga lupa kalau dia sudah memesan secangkir capuccino.
"Pusing sekali," desisku lirih sambil terus memijat kepalaku yang serasa akan pecah memikirkan semua hal kesalah pahaman yang sedang terjadi saat ini.
Tama pasti akan marah besar kepadaku, ini semua salahku. Kalau saja aku tadi tidak masuk kedalam ambulance dan menemani Tama pergi ke Rumah Sakit dan membuat doker Thomas memergokiku, pasti ini semua tidak akan terjadi.
Nada panggilan masuk samar-samar terdengar dari saku celanaku saat aku akan beranjak dari kursi ini untuk keluar. Dan ketika aku meraih handphone itu namanya mucul didepan layar ponsel hingga membuatku sedikit menahan nafas.
"Hallo," aku menelan ludahku sendiri saat mulutu bergerak mengucapkan sepatah kata itu.
"Apa kau bodoh?"
Kata-kata itu yang kudengar dari sebrang telefon hingga membuat dadaku bertambah sesak. Sepertinya Tama sudah tahu dengan apa yang sedang terjadi saat ini, dan aku sudah dalam kondisi siap untuk mendengarkan semua caciannya.
Hanya saja, tolong jangan membatalkan kontrak kita. Aku masih ingin melihat Nia hidup meski dalam keadaan koma. Pintaku memohon didalam hati.
"Ma-maaf." Ucapku terbata-bata.
"Datang kekamarku sekarang juga."
"Tapi, tapi semua orang akan melihat kita dan -."
"Bukankah kita sudah tertangkap basah?"
Tama langsung menutup telfonnya setelah memotong pembicaraanku.
Dia benar-benar marah padaku,
Kupandangi sebentar layar ponsel yang kini sudah redup digenggamanku sambil meremas dadaku. Sekali lagi aku menelan ludah. Sudah sepantasnya Tama marah padaku. Aku yang membuat semua kesalah pahaman ini terjadi.
Aku mungkin aku dicaci, ditampar atau mungkin aku akan diperkosa. Aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.
Tapi kontrak itu? Aku harus bisa mempertahankan Nia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss me Hug me Touch me
RomanceSudah diterbitkan dan didapatkan di Toko Buku... :) . . . Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat ketika aku bertemu dengannya. Dokter itu berhasil menjebakku hingga aku harus selalu setia memenuhi kebutuhan fisik setiap kali dia menginginkann...