Pukul 21.05
Menurutku itu masih belum terlalu larut. Malahan pukul 21.05 masih tergolong pagi untuk kawasan ibukota seperti ini. Tapi, mengapa Tama membuat kesepakatan aku harus pulang pukul tujuh tepat?
"Hhhhhhhh." Aku hanya terlambat dua jam dari waktu kesepakatan, tapi sepertinya Tama sudah menunjukkan gelagat amarahnya.
Berulang kali aku menatap layar handphone. Ratusan message, pesan blackberry massager dan ribuan panggilan dari Tama sengaja aku abaikan. Aku sudah terlalu lelah untuk mendengar ocehannya. Maksudku, yang penting sekarang aku dalam perjalanan pulang. Bukankah dia tahu kalau aku pasti pulang karena aku tidak akan mungkin memungkiri kesepakatan yang telah kita buat?
Aku turun dari angkutan umum diperempatan jalan agak jauh dari lokasi apartemenku. Untuk tempat semewah itu tidak mungkin angkutan yang aku tumpangi bisa lewat didepannya. Oleh karena itu, mau tidak mau aku harus berjalan kaki kira-kira seratus meter untuk sampai ke apartemen.
Dan sekali lagi saat aku berjalan kearah apartemen, handphone ku berbunyi. Lagi-lagi sebuah panggilan dari Tama. Aku hanya memandang ponselku kemudian memasukkan lagi kedalam saku celanaku.
57 panggilan tak terjawab.
Begitu tulisan yang ada dilayar ponselku tadi.
Biarkan saja Mia. Biarkan saja. Dia hanya ingin memakimu. Lagipula sebentar lagi kau sampai rumah kan? Daripada kau mendengar ocehannya sampai dua kali, lebih baik biarkan saja dia meledak sepuasnya di rumah nanti. Ucapku dalam hati.
"Mia!!!!!"
Tiba-tiba terdengar jeritan dari arah ujung jalan dekat apartemenku.
"Tama?" desisku. Kubuka lagi mataku lebar-lebar untuk membuktikan bahwa orang itu benar-benar Tama. Dia nampak berdiri disana, menatapku tajam sebelum akhirnya sosoknya berjalan terburu-buru kearahku.
"Kemana saja KAU?" Dan kini dia sudah berdiri tepat didepanku. Intonasinya lebih tinggi satu oktaf dari biasanya. Tangannya mencengkeram bahuku sambil mengguncang-guncangkan tubuhku. Matanya menyala-nyala. Nafasnya terdengar memburu. Dahinya mengerut dan bersiap melepas bomnya didepan mukaku saat ini.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi dengan reaksi Tama yang tiba-tiba ini.
"Mia! Dari mana saja kau?" ucapnya lagi mengulang pertanyaannya yang tidak dijawab olehku.
"Ma-maaf, aku hanya bertemu dengan temanku."
Dan seketika itu juga terdengar lenguhan panjang. Perlahan remasan tangannya yang mencengkeram bahuku mengendor diikuti dengan nafasnya yang berubah teratur. Kerutan didahinya kini memudar dengan sendirinya, sorotan matanya yang tadinya tajam kini langsung berubah menjadi tatapan sendu saat mendengar jawabanku.
"Kau yakin kau tidak apa-apa?"
Aku mengangguk. "Ya."
"Kau yakin tidak ada orang yang menyakitimu sehingga kau pulang terlambat kan?"
Aku mengangguk lagi. "Iya."
"Lalu kenapa kau tidak membalas panggilan dan semua pesan-pesanku?"
"Emm, itu maaf." Aku menelan ludahku sendiri saat menyadari kalau aku memang sengaja mengabaikan seluruh panggilannya."Maaf." Aku menunduk merasa bersalah. "Maksudku yang penting aku sudah pulang. Aku hanya terlalu lelah jika kau memarahiku ditelfon."
"Lain kali angkat telfonmu. Aku berjanji tidak akan marah lagi kepadamu. Aku hanya ingin tahu kau baik-baik saja. Jangan buat aku khawatir seperti ini lagi."
Tama mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku baru sadar kalau penampilan Tama kali ini sangat awut-awutan. Raut mukanya sangat kusam. Rambutnya yang selalu klimis kini acak-acakan. Dasi yang terlepas dari simpulnya tergantung pasrah dilehernya. Bahkan, kemeja yang biasanya selalu rapi kini sudah kusut berlipat-lipat.
Kenapa dia? kenapa dia seperti ini?
Tunggu. Apa tadi dia bilang?
Khawatir?
Apa dia benar-benar khawatir kepadaku hingga membuatnya seperti ini?
Entang mengapa ada perasaan hangat muncul begitu saja didalam hatiku ketika menyadari akan sesuatu. Tanpa kusadari sebuah senyuman mengembang diwajahku. Aku menatap Tama dalam-dalam mencoba menyimpulkan sendiri dibalik kata khawatir yang baru saja ia lontarkan.
Tapi tiba-tiba dahinya kembali mengerut. Ia kembali menatapku dengan tajam saat melihat diriku tersenyum kearahnya.
"Kau harus tahu aku sudah membelimu. Itu artinya kau milikku. Kau sudah menjadi tanggung jawabku jadi wajar saja aku harus tahu tentang semua yang kau lakukan. Bagaimana jika kau bertemu dengan perampok dan akhirnya memperkosamu? Apa kau tidak berpikir sampai seperti itu Mia? Aku tidak mau barang yang sudah kubeli dicicipi juga oleh orang lain. Dan jika sampai itu terjadi kau akan kubuang. Dan kau tahu apa jadinya dengan saudara kembarmu bukan?"
Deg.
Pernyataannya memudarkan senyumanku. Kenapa dia selalu memilih kata-kata yang menyakititkan?
Ternyata aku salah. Tama memang benar-benar tidak pernah khawatir kepadaku. Dia hanya khawatir tentang tubuh ini. Ya. Tubuh ini. Tidak lain dan tidak bukan.
***
Seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Sedari tadi aku terus mengekor dibelakangnya. Bahkan ketika kami menaiki sebuah lift bersama-sama, aku memberikan jarak dua langkah dibelakang Tama.
Orang ini sungguh aneh. Setelah memberikan kata-kata panjang tiba-tiba dia berubah menjadi Tama yang kaku seperti biasanya. Dia diam. Sungguh berlawanan dengan sifat yang ia berikan tadi saat dia mengaku khawatir tentang tubuh ini.
"Hhhhh." Aku mendengus lirih berusaha protes akan sikapnya yang selalu berubah-ubah ini.
Setelah bunyi ding. Pintu lift terbuka. Tama segera keluar diikuti dengan langkahan kakiku yang sedari tadi mengekor putus asa.
Dan ketika kami ingin menuju pintu nomor 122. Langkahan kaki kami berhenti secara bersamaan. Aku tercekat, begitu pula dengan Tama. Kami berdiri kaku saat melihat sosok yang sedang menunggu didepan pintu kami.
"Tante."
"Mama."
Ucap kami hampir bersamaaan.
Tante Marissa berdiri disana. Menyedapkan tangannya saat melihat kami berdua. Matanya tajam menatap kearah kami. Seperti ada kilatan disorotan matanya ketika ia berhasil menangkap basah kami berdua.
Love you readers....
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss me Hug me Touch me
RomanceSudah diterbitkan dan didapatkan di Toko Buku... :) . . . Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat ketika aku bertemu dengannya. Dokter itu berhasil menjebakku hingga aku harus selalu setia memenuhi kebutuhan fisik setiap kali dia menginginkann...