Aku merosot duduk, sedetik setelahnya orang-orang dalam flat trans--dinding kelabu--berlari menghampiri. Kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa. Dengan ekspresi khawatirnya, mereka menggendongku yang berada dalam keadaan setengah sadar.
Mark, Trina, sekarang aku sendirian lagi.Tanpa teman lagi.
Aku menghiraukan suara-suara yang memanggilku. Memutuskan untuk menutup mata. Dadaku sesak ingin menangis, namun rasanya air mataku sudah mengering.
Ibu mati didepan mataku. Melindungiku dengan memelukku. Sepersekian detik kemudian, punggungnya tertembak anak panah. Hampir sama seperti pengorbanan yang dilakukan ayah dan kakakku.
Aku kehilangan segalanya.
Orang-orang menjadi gila dan aku diasingkan.
Dan, saat aku menemukan lagi seorang teman, pada akhirnya mereka juga diambil dari rengkuhanku.
Terlalu banyak air mata untuk itu semua.
Aku perlahan membuka mata saat orang-orang mulai menepuk-nepuk pipiku. Beberapa dari mereka tersenyum saat melihatku sadar.
Salah satu dari mereka berucap, "Syukurlah, Nak. Kau sudah sadar." ujar wanita paruh baya berambut pirang. Lalu, ia tersenyum. "Kita harus tetap jalan." Tambahnya lagi.
Aku menyernyit, kemudian bangkit untuk duduk. Namun lagi-lagi wanita itu bicara.
"Tak perlu, Nak." Katanya, mencegahku berdiri. Kemudian wanita itu menoleh kesebelah kanannya. "Jason, tolong gendong anak ini untuk sementara waktu."
Pria yang disebut Jason itu mengangguk. "Baik, Dr. Paige."
***
Kami melanjutkan perjalanan. Melewati lorong flat trans yang panjang dan gelap. Aku diturunkan dari gendongan Jason baru semenit yang lalu, tapi rasanya sudah begitu letih.
Seorang wanita berambut hazel tiba-tiba menggandeng tangan mungilku. Aku mendongak. "Hai, Dee-dee." Katanya.
Aku hampir terlonjak, namun kupaksa diriku untuk terus berjalan. Melihat wajah bingungku, wanita itu kembali buka mulut. "Aku mengenalmu." Ujarnya, lalu memberi jeda. "Aku teman ibumu. Kita dulu se-desa, Nak."
Aku memangut-mangut. "Senang bertemu dengan bibi." Ucapku.
Beberapa detik setelah kuucapkan kalimat itu, sudut-sudut mataku menangkap sebuah cahaya. Aku menoleh, menatap lurus kedepan. Semakin kulangkahkan kakiku kedepan, cahaya itu makin silau. Mengintimidasi mataku yang sudah terbiasa didalam kegelapan flat trans.
Wanita yang masih mengamit tanganku itu bergumam. "Kita hampir sampai."
***
Tempat yang hijau. Flat trans itu nampaknya membawa kami kesebuah tempat yang belum pernah terpijak. Bahkan tak kusangka ada tempat se-asri ini setelah bencana ledakan sinar matahari terjadi.
Kami akhirnya bermukim disana. Membangun rumah-rumah sederhana dan sebuah tempat pertemuan. Setelah cukup lama tinggal bersama mereka, aku baru menyadari bahwa mereka adalah orang-orang cerdas.
Dalam kurun waktu 2 hari, mereka menciptakan alat penerangan dan aliran listrik yang menjangkau dari rumah ke rumah. Pertemuan dilakukan tiap dua kali seminggu, untuk membahas masalah yang tidak penting. Kemudian, topik teralih ke faksin flare, selalu seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Maze Runner [Teresa pov]
FanfictionSaat itu, kuingat diriku masih berumur lima tahun. KPF-Koalisi Pasca Flare-. Organisasi itu menyebarkan virus mematikan, bak tak puas karena bencana ledakan sinar matahari beberapa waktu lalu. Flare. Virus itu ganas. Bibit dari virus itu ditembakkan...