"Baik, pak. Saya segera menuju lokasi." Langkahku tak terhenti setelah mendapat panggilan dari manajerku. Astaga! Aku melupakan satu hal yang sering terjadi sepulang kuliahku. Sekerumunan mahasiswa berkumpul dengan wajah bodoh mereka."Raisa......", semakin bodoh saja wajah mereka. Resiko menjadi yang tercantik memanglah seperti ini. Maksud dari setiap lelaki yang sedang berkerumunan seperti ini tidak lain hanya untuk memberiku setangkai mawar, sebait puisi, seikat bunga yang dirancang begitu apik, dan juga cokelat. Namun sejauh itu baik-baik saja, tidak sampai lelaki culun itu menabrakku dari belakang. Ohh what the...
"Raisa.. Maaf, maaf... Aku beneran gak sengaja."
Mataku tak bisa berhenti terbelalak ketika ice cream cokelat murahan yang ia bawa sudah mengotori baju, tas, dan rambutku!
"Aku Cuma mau kasih kamu ice cream ini...""BODOH!! LIAT NIH BAJUKU, TASKU, RAMBUTKU!! KOTOR GARA-GARA ICE CREAM MURAHANMU ITU! LO GAK BAKAL BISA GANTI SEMUA INI, KAMPUNG!!!"
Amarah ini benar-benar tak dapat terbendung lagi. Semua mata kini tertuju pada kami berdua. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, aku langsung meninggalkan mereka yang sangat gak guna itu dengan langkah kasar. Tuhan, mengapa Kau ciptakan manusia yang begitu bodoh seperti mereka? Aku terus meracau sepanjang jalan menuju pintu keluar kampus. Semoga dia bisa membuka mata dan menggerakkan otaknya sesekali setelah kejadian kampungan itu.
Aku mempercepat langkahku agar segera pulang. Oke, mobil siap tepat waktu. Tak membuang waktu lama, "jalan, pak."Dua minggu kemudian....
Buruk, BURUK!
"Sertifikat tanah."
Mama menyerahkan sebuah mab yang sangat berharga itu kepada seorang yang berbadan gemul dan berkulit hitam legam mengerikan. Nampak dia bukan orang sembarangan dengan jas dan dasi bergelantung di leher yang hampir tak terlihat itu. Ia datang bersama beberapa orang yang saling gotong royong mengangkut barang-barang kami. Kami mau pindah? Tapi mama gak pernah cerita sebelumnya. Setelah orang-orang aneh itu pergi, mama dan papa berlutut tak berdaya.
"Pa, Ma, ini ada apa?""Papa bangkrut, Sa. Papa punya hutang kepada perusahaan lain yang ternyata memiliki bunga jauh dari kesepakatan sebelumnya. Akhirnya rumah sekaligus isinya disita oleh perusahaan itu."
"ApA??!! bagaimana bisa? Terus, kita tinggal dimana setelah ini, Ma?", mata mama yang semula hanya berkaca-kaca, kini sudah berlinang air mata. Tak tahu apa yang akan kulakukan. Mengejar rombongan orang aneh itu dan meminta belas kasih pun tak akan berpengaruh sama sekali. Mobilku, baju-baju mahalku, rumahku, hanya sebatas kenangan saat ini. Yang kumiliki kini hanya kedua orangtuaku. Aku memandang nanar mereka yang masih berlutut dengan isakan. Pasti mereka sedang memikirkan jawaban dari apa yang aku tanyakan. Dimana kami akan tinggal setelah ini.
Pemukiman kumuh?
Ya, disinilah kami sekarang harus tinggal. Wilayah yang sangat menjijikkan. Tak pantas untuk dikatakan sebuah hunian manusia. Gudang, sebutan yang pantas. Dan takdir yang sangat pahit adalah kamilah penghuni gudang kumuh ini. Apa maksud-Mu, Tuhan? Menyengsarakan kami? Kami yang dulunya bersantai di atas spring bed empuk, kini harus menerima keadaan dengan tidur di atas kasur kapuk dekil. Tak sedikit dari penduduk yang berkasak-kusuk setiap kedua orangtuaku keluar rumah. Entah cibiran apa yang mereka lontarkan, papa dan mama tak pernah membahasnya di rumah."Kamu harus tetap kuliah, Sa." Ujar lelaki tua yang sedang melahap nasi bungkus di hadapanku.
"Mama besok ke kampusmu buat minta keringanan biaya kuliahmu ya?", dengan kondisi sesulit ini, mama masih sempatkan tersenyum padaku.
"Gak usah, ma. Biar Raisa yang meminta keringanan sendiri. Mama besok masih harus kerja kan?", mama pun mengangguk lembut. Ya, mama sekarang bekerja. Tukang cuci baju di salah satu rumah cuci di desa ini milik bu Minah. Syukur, beliau termasuk seorang yang paham agama. Jadi beliau tak pernah manyindir ataupun menyakiti hati mama seperti orang-orang yang lain. Sedangkan papa kini bekerja sebagai pekerja bangunan, atau bisa kalian sebut kuli bangunan. Oh Tuhan, sungguh menyedihkan nasib keluargaku. Melihat kondisi keluargaku seperti ini, seketika aku teringat pada Susi, teman semasa SMAku. Dulunya dia bernasib sama sepertiku, tapi kini kehidupannya sungguh semakin baik. Orangtuanua kini memiliki restoran di luar kota sana.
"Kasihan sekali ya, Bapakmu cuma kuli bangunan, ibumu tukang cuci baju. Susi, aku turut prihatin ya sama nasibmu. Kok beda banget ya sama aku. Ckck, terima nasib ya, Sus."
Sekarang aku bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Susi saat itu. Siapa yang telah mengatakan kalimat binatang itu kalau bukan aku! Aku malu. Aku takut. Apa yang akan teman-temanku katakan tentang nasibku sekarang? Mereka yang dulu telah terlanjur kusakiti, pasti akan mencemoohku habis-habisan. Aku sengaja tidak mengizinkan mama ke kampus, bukan karena malu, tapi aku takut mama akan tahu apa yang akan terjadi padaku esok hari. Sudah dua minggu aku absen kuliah. Pasti cacian dari mereka semakin matang dan menyusup.
Lamunanku terpecah ketika melihat sebuah amplop merah muda yang tak asing lagi bagiku di dalam tas kuliah. Ternyata surat ini sudah dua minggu lamanya berada disini. Aku segera meraihnya, ingin membaca quotes apalagi yang akan menyayat hatiku. " Pa, Ma, Raisa keluar sebentar ya." Jangan sampai mereka tau tentang surat kaleng yang hampir setiap hari bimsalabim ada dalam tasku. Entah siapa pelakunya dan kapan ia meletakkan surat ini ke dalam tasku, aku tak pernah terpikir untuk melacaknya. Membuang waktuku yang berharga.____
Hai, model tercantikku.
Kamu cantik sekali hari ini. Masih dengan kepercayadirianmu yang terlalu tinggi. Actually, it's no problem. Tapi kamu mungkin yang terlalu LEBAY untuk menanggapi sebuah pujian. Atau mungkin kamu sebenarnya tidak bisa menanggapi pujian dengan sebaik-baiknya tanggapan? kamu tahu orang kampung? Orang kampung itu tidak semua kampungan lho. Sangat KAMPUNGAN, aku rasa itu title yang sangat cocok untukmu. Ingat, modelku. Kamu hanyalah seorang wanita yang terkenal karena sebuah keberuntungan semata. You're not everything. Kamu pikir,kamu sudah menemukan dan memiliki segalanya?
Harta? Oke, kamu punya.
Kecantikan? Ya, tak ada yang meragukan itu.
Jika Bahagia?
Sudahkah? Bahagia yang seperti apa?? Kamu bisa menjelaskannya?
Seorang wanita yang memiliki segalanya, namun tak memiliki yang berarti, it's you are. Akan sampai kapan kau seperti ini, Angkuh?
____Surat ini adalah yang terpanjang dari kiriman surat sebelumya. Bukan marah yang kini sedang menguasai hatiku. Kecewa lebih tepatnya. Kecewa atas rendahnya aku sehingga ada orang yang sangat membenciku seperti pengririm surat ini. Mungkin ini adalah salah satu dari sekian penggemar yang nyatanya membenciku. Dulu aku sangat puas dan tersanjung atas segala sanjungan yang diberikan kepadaku, hingga semua itu melahirkan kecongkakanku yang baru kusadari kini. Apakah aku bahagia? Apakah semua yang telah terjadi pada keluargaku merupakan sebuah karma untukku? Tapi mengapa harus keluargaku juga yang menanggung? Bukan mereka, tapi akulah yang busuk!
Sekonyong-konyong wajah rupawan itu terbesit dalam otakku. Membuatku untuk lebih berpikir kembali, pantaskah wanita sepertiku mengharapkan Cinta darinya?Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Tegar Dalam Sujud✓ [SELESAI]
Short StorySujud tak hanya sebatas menempelkan dahi di atas bumi. Lebih dari itu, sujud merupakan bentuk ketidakberdayaan manusia di hadapan Sang Mahakuasa, bentuk Ketaatan makhluk pada Sang Maha Pencipta. Sujud memang tidak bisa mengeluarkan kita dari masal...