2

28 3 0
                                    

Gadis itu menjejakkan kakinya pada jalan yang sengaja di design menggunakan batu-batu itu dengan perasaan campur aduk.

Matahari yang bersinar dengan kejam tidak membuat ia sempat mengipasi dirinya yang sudah sangat berkeringat.

Café Bulan.

Tempat ia pertama kali bertemu dengan pria itu. Pria yang sudah memporak-porandakan kehidupannya.

Pria yang sudah seenaknya pergi begitu saja tanpa pamit. Pria yang-- sialnya --masih ia cintai.

Namanya.. Xavier.

Baiklah, Jean. Kau bisa. Toh, dia hanyalah masa lalumu saja, kan? Gadis itu menyemangati dirinya sendiri.

Ia menguatkan hati dan melangkah dengan mantap masuk ke dalam tempat tersebut.

Tapi kenapa dia mengajakku bertemu lagi? Di sini? Pikirannya berkecamuk.

Tapi toh pada akhirnya,ia tetap masuk ke dalam tempat yang selalu sepi di siang hari itu.

Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan menemukan seorang pria yang sedang duduk sambil menghadap ke arah layar komputer.

Jean-- gadis tadi, berjalan dengan gugup ke arahnya.

"Lama menunggu?" Jean berusaha menutupi kegugupannya dengan pura-pura cuek.

Pria itu mendongak, kemudian menggeleng sambil tersenyum. Senyuman manis yang selalu membuat Jean ingin melihat senyum itu lebih lama lagi.

"Tidak, aku juga baru saja datang." Katanya. Namun, melihat secangkir kopi hitam yang sudah tinggal separuh itu, Jean yakin ia sudah menunggu cukup lama di sini.

Masih sama. Ia masih tidak suka membuat orang lain merasa bersalah. Batinnya sambil menarik kursi dan duduk di sana.

"Ada apa kau mengajakku bertemu di sini?" Tanya Jean tanpa basa basi.

"Masih seperti dulu. Kau selalu saja tidak suka berbasa-basi, huh?" Xavier tertawa kecil.

Lagi-lagi, Jean merasakan sengatan kecil ketika pria itu tertawa.

"Pesanlah sesuatu dulu. Aku yang akan bayar nanti," Xavier menyodorkan buku menu ke arah Jean.

Dengan sangat terpaksa, Jean mengambilnya dan melihat-lihat isi buku menu itu.

Tangannya terangkat untuk memanggil pelayan.

"Ice Cappuccino with extra ice cream satu," Ucapnya.

Setelah pelayan itu pergi, suasana kembali hening, Xavier kembali sibuk dengan laptopnya, sementara Jean bingung harus melakukan apa.

Sial baginya, ponsel kesayangannya itu tertinggal di rumah akibat ia terlalu panik saat mendapat e-mail dari Xavier kalau pria itu ingin bertemu.

"Jadi.. Bagaimana kabarmu, J?"

J. Nama panggilan dari Xavier untuk Jean.

"Aku baik.. Kau?"

Pria itu mengangguk-angguk. "Aku juga baik."

"Baguslah,"

Kemudian, hening lagi.

Tangan Xavier terangkat untuk memanggil pelayan. Dan saat itu juga, Jean melihat sesuatu yang mengkilap di sana.

Cincin.

"Kau memakai cincin?" Gadis itu tidak bisa menahan pertanyaannya.

Ia menoleh kepada Jean dan tersenyum.

"Ah iya, awalnya aku ragu membahas hal ini. Tapi karena kau sudah menyinggung, jadi pasti baik-baik saja," Katanya.

Seorang pelayan datang dan Xavier memesan sebuah kopi hitam lagi. Lalu, ia menggeser laptopnya dan menatap Jean.

"Kudengar kau adalah seorang designer baju pengantin, apa itu benar?"

Jean mengangguk.

"Sempurna," Xavier tersenyum senang. "Lea menginginkan model baju pengantin seperti ini, apakah kau bisa membuatkannya?"

"Lea?" Ulang Jean tidak mengerti.

"Aku sebentar lagi akan menikah dengan Lea. Kau masih ingat? Teman sekelas kita saat pelajaran bahasa inggris, ternyata, aku dan dia punya banyak kecocokan."

Saat itu juga, dirinya seperti tersambar petir di siang bolong.

Kupikir.. Dia masih mencintaiku..

***
Vote and comments, pls? :)

Cafe BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang