Pertama

2.9K 319 76
                                    

Aku mengelus-elus pelan rambut kucing itu. Warnanya cokelat gelap, seperti cokelat-cokelat pahit yang dijual di toko. Aku ingat sekali... dulu, aku pernah menjilat rambut kucing ini. Bodoh sekali. Sesudahnya Ibu menggosokkan gigiku berkali-kali.

Kucing itu mengeong, manis sekali. Ekornya menyentuh lembut pipi kananku, lalu jatuh ke lantai, mengusap-usap pelan sebuah kantung plastik bening berisi kapsul-kapsul. Aku menengok ke arah jam, kemudian meringis. Kutepuk pelan kepala kucing itu.

"Terima kasih sudah mengingatkan, Mika."

Kucing itu mengeong lirih. Matanya ditutup, sepertinya ia mengantuk. Kuambil kantung plastik tadi, mengambil satu kapsulnya, lalu langsung menelannya bulat-bulat.

Dan dia datang.

Aku selalu mengingatnya, orang yang tidak pernah keluar dari pikiranku. Seorang pemuda yang sebaya dengan diriku. Kulit terang yang agak menguning, dan senyumannya yang terus tersungging di wajahnya....

"Hei," ujarnya pelan. Ia duduk di sebelahku, membungkukkan tubuhnya seperti biasa. "Apa kabar?"

Apa kabar? Bagi seseorang yang menghampiriku tiga kali sehari-lebih sering dari pada kedua orangtuaku sendiri, dan mereka tidak menanyakan kabar-apakah perlu pertanyaan itu dilontarkan?

"Lumayan," ucapku sembari tersenyum kesal.

"Masa?" tanyanya.

Aku memasang tampang cuekku. "Ya."

"Benar kah?"

Aku menganggukkan kepalaku. Aku menoleh ke sebelah kiriku, menjauhi wajahnya, mencari suatu hal lain. Namun yang kulihat hanyalah warna putih.

Ya. Dinding putih, kasur putih, meja putih, lantai putih, langit-langit putih... serba putih. Dan saat itu baru kusadari, dari mana dia datang? Ke mana perginya kucing tadi, Mika?

Keringat dingin baru saja menuruni pelipisku. Kehadiran orang ini selalu... tidak menyenangkan. Hawa yang ia keluarkan selalu berhasil membuatku tidak nyaman.

"Boleh tidak kau pergi saja?"

"Terlalu malas untuk bergerak."

Aku menghela napas keras-keras. Ini sangat mengesalkan! Rasanya, ia terus menatapku tiap waktu. Tidak hanya menyebalkan, ini mengerikan. Umurku tujuh belas tahun, dan seseorang yang berpenampilan nyaris seperti diriku-bedanya, dia jauh lebih kurus-memperhatikanku dengan tatapan yang... yang... seperti itu! Apa lagi? Apakah dia akan membuka celananya kemudian mengibarkan kolornya yang pelangi itu?!

"Tidak, aku tidak senorak itu. Dasar tolol," ucapnya tiba-tiba.

Aku mengepalkan kedua tanganku, merangkak ke ujung kamar serba putih ini, dan meringkuk di sana. Sendirian, gelap, tidak terlalu dingin, tidak terlalu hangat.

Orang itu terkikik. "Baiklah, selamat tidur!"

Orang ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang