Kedua

1.6K 285 29
                                    

Aku mengelus-elus pelan rambut kucing itu. Warnanya cokelat gelap, seperti cokelat-cokelat pahit yang dijual di toko. Aku ingat sekali... dulu, aku pernah menjilat rambut kucing ini. Bodoh sekali. Sesudahnya Ibu menggosokkan gigiku berkali-kali.

Tiba-tiba aku merasa terhenyak. Apakah ada yang salah? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada apa-apa.

Kamar serba putih ini terasa hening. Kusimak irama detak jantung di dada, menenangkan diri dengan segala sesuatu yang berkecamuk di kepala.

Deg, deg, deg, deg....

Tik, tok, tik, tok....

Aku mendongak, menatap jam dinding putih di atas sana. Sejak kapan ada jam dinding di sini?

"Hai." Orang itu datang lagi. Anehnya, sebelum aku meminum obat. Ia duduk di kasur, memperhatikanku yang duduk di lantai bersama Mika.

"Ada apa?" tanyaku.

Orang itu menggelengkan kepalanya, "Tidak ada yang spesial."

Aku mengernyitkan dahi. "Bukan kah selalu seperti itu?"

Ia terdiam sebentar, menggaruk-garuk lehernya dengan canggung. "Tidak tau juga sih, mungkin akan ada suatu hal yang menyebalkan hari ini," ujarnya. Kemudian ia menghilang.

Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Tiba-tiba tanganku rasanya diinjak, oleh Mika. Ia mengeong keras. Apakah dia sudah memanggilku dari tadi? Tidak tau juga, aku tidak bisa fokus ke hal-hal seperti itu dengan baik. Kadangkala aku merasa sangat pusing dan hilang kesadaran karenanya. Karena itu Mika memberikanku obat.

Mika bermain-main di atas kakiku yang diselonjorkan. Ia melompat ke kanan, kiri, kanan, dan kiri. Gerakannya lincah, seperti seekor kucing.

Tunggu, Mika memang kucing! Aku bodoh sekali.

Tak lama kemudian, Mika berhenti. Mungkin ia sudah kelelahan. Padahal, menyenangkan sekali melihat ia bermain-main. Ia pun melenggok pergi, ke sebuah lubang gelap raksasa di dinding. Setelah ia ke sana, lubang itu menutup dengan sendirinya.

Aku mengambil kantung plastik di lantai, mengambil satu kapsul, lalu menelannya.

"Hai!"

Aku terdiam. Kepalaku tiba-tiba berdenyut keras. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan, menahan rasa sakitnya. Orang itu menatapku iba. Ia menghampiriku, duduk di sebelahku, memberikan tatapan hangat, menepuk pundakku, mengucapkan sesuatu. Aku tidak bisa mendengar perkataannya. Kepalaku terlalu... pusing. Kucoba membaca gerak mulutnya, namun jarak pandanganku berkurang dengan tajam.

Aku menangis... menangisi nasibku. Menangisi rasa sakit ini. Menangisi orang yang berusaha menenangkanku ini.

Orang ItuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang