TIGA
Crowded Mind(-)
Dering telepon yang mengalun nyaring tepat di sebelah bantal Aurel sama sekali tidak mendapat respons dari sang empunya. Entah tidak dengar, entah malas. Ia sedang tidak ingin diganggu. Bahkan oleh pangerannya sendiri.
Bosan. Itu satu kata tepat dan mutlak yang menggambarkan perasaannya saat ini. Bagaimana tidak jenuh, pacaran selama 3 tahun lamanya tanpa 'rasa nyaman' seperti pasangan lainnya? Ia merasa terlalu dimanjakan oleh Duto, nyaris tanpa cela. Seperti boneka santet yang dimainkan dengan alur teratur oleh pemiliknya.
Dan mungkin, ia pantas mendapatkan itu. Toh, Aurel pun tidak ada rasa sama sekali terhadap Duto. Menganggap sebagai sahabat karib pun tidak. Duto tidak pernah mendapat posisi nomor 1 dalam hidup Aurel.
Terdengar jahat, keji, munafik. Tidak dapat dibayangkan seorang anak manja sepertinya ternyata seorang iblis yang gemar menghancurkan hati siapa saja. Sekenanya. Menghancurkan perasaan spesial yang susah payah dibangun oleh yang-selama-ini-menjabat-sebagai-prioritas-hidupnya.
Mau tetap dilanjutkan walau nggak suka?
Itu sama saja memberikan harapan buta. Sebentar lagi juga akan terhapus seiring dengan perlakuan membosankan yang kian terlupakan.
Padahal waktu itu Duto rela berdiri di tengah lapangan sambil menenteng setangkai bunga mawar putih. Murid-murid, bahkan guru menyaksikan 'fenomena' itu dengan pandangan aneh.
Dan dengan mudahnya, Aurel mengatakan ya saat itu. Awalnya, dua huruf itu hanya sebuah lelucon baginya. Dua bulan setelah pacaran, ia berniat untuk menyudahi hubungan mereka. Hanya untuk buah bibir sementara.
Namun ternyata, selama 2 bulan menjalani hubungan yang tidak pasti, Duto semakin menyayangi Aurel. Kata putus selalu tertahan di kerongkongannya, yang sampai sekarangpun masih serat diucapkan.
Siapa, sih, yang senang ditipu selama 3 tahun lamanya?
16 missed calls from Duto. Swipe to see recent dials.
27 messages from Duto. Swipe to see conversations.
Aurel mendecak gusar ketika melihat wall update yang dipenuhi oleh nama 'Duto'. Rasa sesal dan kasihan itu kembali menjalari pikirannya, dan perlahan menggerogoti hatinya. Pikirannya berantakan.
Luka yang belum sembuh itu kembali tergores, menimbulkan penyesalan yang tak kurun pulih.
::::
"Bagaimana sekolah kamu, Aga? Semuanya lancar 'kan?" suara parau Ayah memecah keheningan ruang makan yang sebelumnya sunyi. Semuanya berjalan mulus, setelah akhirnya pria paruh baya itu mempertanyakan sebuah pernyataan yang akan dijawab dengan white lies oleh Aga.
"Baik, Yah. Nyaris tidak ada hambatan," jawab Aga. Suara baritone miliknya sangat cocok dipadupadankan dengan bahasa formal yang diharuskan oleh sang kepala keluarga.
Ayah terkekeh pelan, terdengar meremehkan. "Tapi tidak berubah terhadap nilai-nilai merahmu."
Aga nyaris melemparkan garpu makan ke depannya, kalau saja urat malunya di ambang keputusan. Ia hanya mengangguk gamang, berharap dapat cepat menyelesaikan babibu Ayah malam ini. Setelah ayam goreng dan perkedel jagung yang tertera di piring makannya habis, ia bersumpah akan mengurung dirinya di dalam kamar, agar Ayah tidak terus-terusan memberikan semburan ini-itu-ini-itu.
"Ayah dengar, kamu sering bolos kursus, ya?" nada persuasif terdengar sangat kental di sana. Entah lontaran pertanyaan atau bahkan pernyataan, kalimat barusan berhasil menskak-mat tubuh cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alphabet
Teen Fictionada masanya ketika kata lelah yang menggantung membuat semuanya terasa bersalah. . 2015, lintang