E

665 46 18
                                    

LIMA
Eyes, Nose, Lips

(-)

Kawasan Kelapa Gading malam ini tidak begitu ramai seperti biasanya, hanya diisi beberapa sedan mewah yang 'kebetulan' melintas di jalan itu. Dan juga gerimis yang masih senantiasa bergabung dengan heningnya malam.

"Aga," panggilan dari ayahnya sontak membuat Aga tertoleh, menghadap pria paruh baya yang sedang memegang kemudi dengan senyum yang mengembang tujuh kali lipat. "Kamu belum punya pacar?"

Cowok berjas hitam di sampingnya hanya terkekeh pelan, "Belum, Yah."

Ayah menghempaskan napas lega, seakan mengeluarkan pertanyaan kesumat yang terus bersarang di mulutnya. Beliau kembali fokus menyetir, sambil bergumam aneh. "Baguslah."

Kata barusan dihiraukan oleh Aga, hanya direspons dengan anggukan kecil olehnya.

Keheningan kembali menyelimuti Mercedes silver itu. Suara Michael Bolton yang mengalun dari radio mobil sama sekali tidak menepis kecanggungan antara keduanya. Masing-masing sibuk memikirkan pikiran tidak tentu arah.

Entahlah.

::::

Aga terperanjat ketika melihat seorang perempuan bertubuh mungil yang sedang berbincang ringan dengan ayahnya. Gadis itu mengenakan dress kuning klasik sebawah lutut, sangat manis jika diperhatikan baik-baik. Juga dengan potongan rambut shaggy-nya dibiarkan tergerai sampai punggung.

Manik matanya hitam legam, sama seperti dia-yang-sedang-memperhatikan.

Dejavu.

Mungkin bukan konteks dejavu yang harus ia akui sekarang ini. Ia merasakan hal yang lain. Seperti suatu keterhubungan.

Antara dia dengan dia yang di sana.

"Papamu kemana, ya?" samar-samar, Aga dapat mendengar percakapan kecil itu.

"Tadi ke toilet, katanya Papa juga nunggu Oom," gadis itu terkekeh. "Aku disuruh tunggu sini."

Ayah melirik sekilas ke arah Aga, lalu berbisik kepada gadis di depannya, seolah hanya mereka berdua yang boleh tahu. Lantas, Aga kembali mengernyit, merasakan ketidaknyamanan yang lagi-lagi membuatnya risih.

Setelah mendengar bisikan Ayah, si pemakai dress kuning itu kembali tertawa, dilanjutkan dengan anggukan mantap.

Ia berlari kecil menghampiri Aga, masih dengan senyuman tadi. Gadis itu melambaikan tangannya, tanda salam kenal. "Apa kabar, Aga?"

Sontak, Aga terperanjat ketika menyadari sesuatu yang aneh mengalir deras melewati rongga telinganya. Ia takut salah dengar, ia takut salah pandang.

"Hehe, nggak inget aku, ya?" tanya gadis itu kemudian, menyadari perubahan air muka pemuda di depannya.

Si lawan bicara hanya tergagap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Ekspresi dungu yang harusnya tidak ia tunjukkan ketika sedang mendapat emas di tengah ladang lumpur.

Kasihan Aga.

"Kiera Rafadya," ujarnya kemudian. Masih tetap tersenyum, walau harus menghadapi cowok lemot macam Aga. "Tetangga kamu 8 tahun lalu, inget 'kan?"

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang