F

714 33 23
                                    

ENAM
Faded Distance

(-)

SMA Arthajaya, 23 Oktober 2015.

Selalu ada peluh kebebasan yang tersorak serentak kala penghujung minggu belajar telah tiba. Jumat. Pulang ngaret, jajan sepuasnya, berujung pada sampah yang berserakan di area sekolah.

Ritual ini seolah menjadi tradisi mingguan seluruh penjuru Arthajaya, menjadikan sebuah ciri khas yang sebenarnya sangat pantang untuk ditiru.

Seorang lelaki melirik jam digitalnya, "Baru jam 5, selow aja."

Makna yang kita tangkap setelah membaca kalimat barusan, orang itu adalah Duto.

"Emang lo balik kapan, To?" tanya Reza, cowok di sebelah Duto. Raut wajahnya cemas menanggapi cetusan temannya, "Bokap gue keburu nyusul ke sekolah."

Duto mendecak remeh, "Elah, nggak seru lo!"

"Udah, gue cabut yak!" pamit Reza sembari menenteng tas futsalnya. Awalnya, Duto kira Reza akan berubah pikiran, berhubung cowok itu memiliki tingkat kelabilan yang cukup tinggi.

Namun ternyata, batang hidung Reza menghilang dalam delapan kali kedipan mata.

Duto merogoh sakunya, mendapati sebuah panggilan masuk yang membuat ponselnya bergetar. Aurel.

"Halo, To?"

Sebuah lengkungan terbit di wajah Duto, menggantikan ekspresi letih yang sedari tadi pagi melekat. Masalah keluarga dan padatnya jadwal futsal membuatnya agak stres, berpengaruh pada emosi kesehariannya.

Dan sekarang, obat penawarnya datang menyambangi.

"Sekarang lo bisa ke rumah gue?"

Duto menimbang-nimbang sebentar, sambil memperhatikan gumpalan awan kelabu yang menghiasi langit sore ini. "Aku masih di sekolah. Emang kenapa?"

"Penting."

Cowok itu melepas topi abu-abu di kepalanya, kemudian terkekeh pelan. "Lima belas menit aku sampe."

"Good boy."

Duto tersenyum.

Jauh di seberang sana, Aurel sibuk menggigiti bibir bawahnya, takut jika ini merupakan kebijakan yang tidak baik bagi semuanya. Ditutupnya sambungan telepon, dan langsung bergegas pergi dengan mantel coklat tebal yang melapisi tubuhnya.

Kebohongan pertama,

akan dimulai.

::::

"Masih suka denger lagunya Richie?" tanya Fadya begitu Aga selesai mengutak-atik tape jadulnya. "Kirain udah pindah selera," sambungnya kemudian.

Aga menoleh sekilas, "Yang namanya selera nggak bisa diganti. Sekuat apapun berusaha pindah dari sana."

Fadya menanggapinya dengan satu anggukan, disertai sebuah kilasan senyuman.

Ini Jumat sore. Namun untuk hari ini, hujan terpaksa mengguyur Bumi karena suatu pekerjaan. Nasihat Tuhan, kewajiban hujan, atau panggilan alam; tidak ada yang bisa mencari kebenarannya. Sama seperti saat-saat sebelumnya, hujan selalu meninggalkan jejak setiap kali mereka jatuh menyentuh Bumi.

Dan mungkin, petrichor salah satunya.

"Kirain udah nggak bisa ngelawak lagi," celetuk Fadya dengan cengiran khasnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang