1

313 13 6
                                    

Aku melangkahkan kakiku menuju kelas 1-7, aku memilih tempat duduk paling belakang, pojok. Itulah tempat yang disediakan bagi orang sepertiku, orang orang menyebutnya "pengganggu". Aku dikucilkan, namun aku hanya bisa diam saja, toh cuma tidak dianggap, setidaknya lebih baik daripada dibully.

"Dean sayanggg, ntar abis pulang sekolah jalan yuk!" ucap Anetha dengan mata yang berbinar sambil menggandeng tangan Dean, ya, Mahardean Adriel, pangeran di SMA ini, dan dia pintar dalam segala hal. Dia..

*flashback on*
"Tahun ini akan diadakan kegiatan jelajah alam seperti biasanya. Kegiatan jelajah alam tahun ini akan dipersulit, karena timnya hanya 2 orang dan wajib berpasangan (putra-putri)." jelas Pak Budi.

Duhhh, gimana nihh. Aku kan gak punya kenalan sama sekalii. Batinku.

Langkah kaki seseorang terdengar menuju ke arahku. Dia berhenti. Aku yang biasanya menundukkan wajahku, terkejut dengan ucapannya, "Renata, kamu gak ada pasangan kan? Sama aku aja yok," pinta Dean. Aku mengangkat wajahku ke atas, tanpa kusadari wajahku memerah. Aku menikmati pemandangan ini, Dean tersenyum dengan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Rasanya aku ingin membuat rambut itu lebih berantakan. Ketika tanganku sudah hampir mencapai kepalanya, dia berkata, "Jadi gimana, Re? Kamu mau kan?," harap Dean. Aku benar-benar malu. Tanganku segera turun dari kepalanya. Aku hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan, karena wajahku terlalu merah untuk kutunjukkan kepada pangeran sekolahku itu.

Tanpa kusadari, teman-teman kelasku memperhatikan percakapan singkat kami lekat-lekat tadi. Aku benar-benar tak percaya, sayup-sayup kudengar mereka mengatakan bahwa mereka iri kepadaku.
*flashback off*

"Kamu tu apaan sih, Neth!" bentak Dean. Suara Dean menggema di setiap sudut ruangan kelas kami, lamunanku buyar seketika. Aku menatap Dean tak percaya, dia tak pernah membentak seseorang sebelumnya. Dean mendekatiku, menarik tanganku, dan mengajakku keluar. "Re, keluar yuk," ajaknya. Aku hanya mengikuti langkahnya dari belakang.

"Anetha gak ada kapoknya nggodain kamu," ujarku kepada manusia dengan paras tampan disampingku. "Yepp, aku ngerasa keganggu banget," balas Dean. "Aku ngerti kok, mungkin tadi udah dibatas kesabaranmu sampe kamu neriakin Anetha, aku tau kamu bukan pribadi yang kasar," kataku sambil tersenyum. Dean menatapku lama sekali. "Aku nggak percaya, kita baru aja kenal, tapi kamu udah kenal aku jauh lebih baik dari yang lain, mungkin bisa dibilang kalo kamu ngerti aku," ucap Dean tulus. Kelembutan Dean, kebaikannya, semua itu terpancar dari sorot matanya. Aku sadar kalau aku mulai mengaguminya.

Tiba-tiba saja Dean menarik tanganku, "Ayo ikut aku," katanya. "Aku bakal nunjukin tempat favoriteku buat mbolos, hahaha," ucapnya bersemangat. Hmm, tawa Dean.

Kami menuju gedung tua diseberang sekolah kami, gedung ini sudah tidak digunakan sejak tahun lalu, tapi menurut gossip yang beredar, sebentar lagi gedung ini akan dijadikan sebuah hotel. Kami menuju lantai paling atas tanpa melepas genggaman kami. Berjalan beriringan dengan Dean, rasanya seperti menaiki tangga nada cinta. "Kita udah sampe, waktunya tepat."

Satu Kata Dibalik PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang