2

166 6 2
                                    

"Kita udah sampe, waktunya tepat."

Aku tidak percaya dengan semua keajaiban yang kulihat ini. Pemandangan ini sangat indah. Langit berwarna jingga, ditambah sentuhan awan yang lembut seperti permen kapas. Dari sini terlihat puncak dari gedung-gedung pencakar langit yang ditutupi awan-awan itu, semua ini menandakan senja telah tiba.

"Gimana, Re? Bagus kan?" ucap Dean. Tanpa sadar tanganku menyentuh pipinya, "Bener-bener indah," balasku. Ketika aku menyadari tindakanku dan hendak menjauhkan tanganku dari pipinya, dia menahan gerakanku. Aku menatapnya, aku yakin wajahku sudah semerah kepiting rebus. "Nggak apa-apa kok," kata Dean sambil meletakkan tanganku dipipinya lagi. Jantungku berdegup dengan kencang. Akhirnya aku hanya bisa menundukkan wajahku dan kembali ke sekolah dengan alasan tak enak badan. Konyol sekali.

*-*-*-*-*
Pagi ini tak ada yang istimewa, tapi aku sadar bahwa aku mulai memperhatikan penampilanku sejak aku mengenal Dean. Entah kenapa aku ingin terlihat sempurna dimatanya. Ah, ngomong apa sih aku ini, gumamku. Aku memulai hariku yang kuharap sempurna dengan mengucir rambutku dan menyisir poniku ke samping. Hanya perlu waktu 15 menit agar aku sampai ke sekolah sebelum gerbang ditutup. Di jalan yang kupikirkan hanya aku harus bilang apa ke Dean nanti setelah insiden konyol kemaren?. Dengan segenap keberanian yang tersisa, aku memasuki ruang kelasku. Eh? Kok Dean nggak ada?. "Hmm, Deanku kok pake sakit segala sih?" kata Anetha kepada dirinya sendiri. "Iya, tumben banget ya Dean sakit," jawab Jasmine. Dean?? Kamu kenapa?. Sejuta pertanyaan terus berputar dalam benakku. Kelas ini terasa sangat sepi tanpa kehadirannya. Terlebih, aku jadi nggak punya teman sama sekali. Aku telah memutuskan untuk menjenguk Dean sepulang sekolah. Tiba-tiba pandanganku beralih keluar jendela, aku melihat seorang laki-laki yang berjalan menggunakan kruk karena salah satu kakinya diperban. Dia dikerubungi oleh banyak orang, aku memerhatikannya dengan teliti. Sepertinya aku mengenali orang ini, jangan-jangan?? Ya, Mahardean Adriel kembali ke sekolah dengan wajah bonyok, salah satu kaki yang diperban, dan seragam yang kotor. Aku nggak tega ngeliat Dean kayak gini, refleks air mataku berjatuhan ketika aku berjalan menghampirinya. Dean nggak sakit, tapi Dean kecelakaan.

Tak kuasa melihat kondisi Dean, aku berlari menjauh sambil sesekali menyeka air mataku yang tak dapat terbendung lagi. Kenapa aku menangis untuk orang yang baru saja kukenal? Pertanyaan itu terngiang-ngiang dalam otakku.

Entah kenapa kakiku melangkah ke tempat favorite Dean. Disini aku menangis sesenggukan seorang diri, aku menumpahkan segala emosiku, aku harap Dean baik-baik saja. "Kamu jangan nangis, Re."
Deg. Suara ini.
"Aku nggak apa-apa, kita masih terhubung dalam satu dimensi kok, hahaha," ujar Dean mencairkan suasana. Aku berlari dan menghambur ke pelukannya, menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Udahlah, Re. Yang penting kita masih bisa ketemu, aku masih bisa jadi sahabatmu kok," ucap Dean yang berusaha menenangkan Renata.

Sahabat. Sahabat aja.

Satu Kata Dibalik PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang