4

119 4 3
                                    

Mentari mulai memasuki kamarku lewat ventilasi. Aku terbangun dengan malas karena hari ini adalah hari minggu yang selalu kunantikan. Teman yang kumiliki sudah bertambah berkat kehadiran Dean. Drrt drrt, handphoneku bergetar diatas nakas.

Re, aku di depan rumahmu.
Fr: Dean, 08.39 a.m

"Aaaa! Mati aku!!" teriakku sangat kencang. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku baru menyadari bahwa aku, Dean, Ogi, Ayu, dan Tika ada rencana mlipir. Mlipir itu bahasa gaol buat ngajak temennya sekadar nongkrong di suatu tempat, biasanya sih semacam café tempatnya. Dengan secepat kilat aku mandi dan mengganti pakaian tidurku dengan jeans putih 3/4 dan blouse tanpa lengan berwarna jingga. Kukenakan converseku yang berwarna putih dan mengambil tasku, lalu ketika melewati meja makan kusambar sepotong roti yang berisi krim susu.

Ternyata teman-temanku telah berkumpul dan menunggu di teras rumahku. "Ehh, maaf bangett. Gue ketiduran tadi," ucapku dengan nada bersalah. "Huuu, kebo lu," sahut Dean diikuti tawa yang lain. Ketika berada dalam perjalanan aku baru saja menyadari bahwa rombongan kami bertambah, yaitu Alvian dan Tika. Wait! Alvian!

"Deann, siapa yang nambah rombongannya?" tanyaku kepada Dean di depanku yang sedang mengendarai motornya. "Gue, kenape?" balasnya. "Oh, nggak kok."

Hmm, keadaan makin buruk. Dean make acara nambah orang segala, gerutuku dalam hati. Kulihat kearah Ayu yang sedang termenung. Kurasa ada masalah antara Ayu dan Ogi. Walaupun tak begitu tampak, tapi aku yakin hubungan mereka tak berada pada garis aman, karena seringkali Ayu kepergok nangis sendiri olehku di kamar mandi sekolah dan ketika kutanya ada apa dia langsung pergi. Cinta itu membingungkan.

Akhirnya kita sampai. Kita semua duduk dalam meja besar yang cukup untuk menampung seluruh badan peserta mlipir ini. Setelah proses pemesanan tempat dan makanan selesai, kami bercanda ria. Dean sangat bersemangat hari ini, senyumnya sangat indah dan lesung pipi yang dimilikinya membuat wajahnya itu semakin menawan. Aku sadar bahwa sedari kami tiba di sini, Alvian tak henti-hentinya menaruh pandangannya ke arahku dan aku selalu mengalihkan pandanganku.

"Re? kamu kenapa? kok nggak biasanya kamu gini? sakit?" tanya Dean. "Eh? enggak kok, aku biasa aja, cuma lagi nunggu makanannya dateng, dah laper banget aku," jawabku asal. Setelah makanan tiba, kami semua segera menyantapnya.

Rencana kami semua, ketika selesai makan, kita semua pulang ke rumah masing-masing. Namun rencana berubah, "Hey, masak kita langsung pulang? jalan-jalan dulu yok, mampir gitu ke rumah siapa kek," ajak Alvian. Mateng! aku nggak mau lama-lama ada di deket Alvian, batinku. "Aku pulang duluan ya, ada urusan di rumah," ucapku sambil lalu. Tiba-tiba genggaman tangan seseorang menghentikan langkahku. Aku menoleh. Alvian.

"Kamu nggak perlu pergi, Rena, bentar lagi aku bakal pergi lagi. Aku minta maaf," bisik Alvian kepadaku. Aku tak mampu membendung air mataku lagi. Aku terisak, Alvian memelukku erat. Semua orang yang ada di sana hanya bisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi di antara kami berdua. Mungkin ini privasi mereka, bukankah lebih baik jika kami semua meninggalkan mereka berdua? batin Dean. Akhirnya Dean mengajak yang lainnya pulang, yang lain setuju dan segera pergi dari tempat itu.

Setelah keadaan tenang, Alvian mengantarku pulang. Di depan gerbang rumahku, aku memintanya berjanji, "Vian, kalo kamu mau pergi jauh bilang dulu ke aku lo ya," pintaku kepadanya dengan mengacungkan jari kelingking tepat dihadapan wajah Alvian. "Selama aku masih hidup, aku usahain buat nepatin janji itu, selalu!" tegas Alvian pasti.

Rena, lama sekali panggilan itu tak kudengar. Aku telah menunggu sekian tahun lamanya agar panggilan itu muncul kembali.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu Kata Dibalik PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang