6 : Urel [1]

25 5 6
                                    

Sudah hampir seminggu Urel tak masuk sekolah. Semenjak pulang dari toko kue selasa sore kemarin, Urel tidak pernah masuk ke sekolah. Kata Bu Ika, Urel sedang sakit dan diharuskan istirahat dirumah. Aku ingin sekali menjenguknya, sayangnya aku tidak tau alamat rumahnya. Aku juga tidak punya tebengan, mau tak mau aku harus mengurungkan niatku itu.

"Chol, pulang bareng, yuk."ajak Bagas. Dia berhenti disamping gerbang sekolahan.
"Ngga, makasih."tolak ku sambil melemparkan senyum padanya.
"Ayo, dari pada kamu jalan kaki."Bagas menarik lenganku.
"Eh, tapi kamu kan juga jalan kaki."kataku kemudian.
"Aku bawa motor."
"Aku ngga mau boncengan sama kamu, jok kamu bikin gatel pantatku."
"Dih, nih orang. Kamu aja belum pernah naik."
"Aku emang belum pernah naik, cuma nebak aja."ketusku.

Sesampainya ditempat parkir, dia mengeluarkan motor Legendanya. Bagas memberi isyarat padaku untuk naik menggunakan alisnya. Tapi aku tidak bersedia naik ke atas motornya.

"Ngga, ah. Motor kamu joknya keras, ntar pantat aku bisa-bisa jadi rata."sindirku.
"Kamu tinggal naik susah amat."
"Bodo."aku beranjak pergi.
"Yaudah, aku juga ngga maksa."Bagas menyalakan motornya.

Aku memalingkan muka. Bagas sudah pergi. Sudahlah, aku juga tidak peduli ini, lagian aku juga ngga minta ditebengin. Aku pulang dengan jalan kaki. Jujur, ini pertama kalinya aku jalan kaki, biasanya aku dijemput. Kata mamah aku harus belajar mengurangi fasilitas ini, agar aku terbiasa tidak mengandalkan fasilitas yang mamah berikan.

Baru 10 menit aku jalan kaki, aku sudah capek duluan. Angkot dari tadi tidak ada yang lewat satupun, mungkin masih pada ngetem ditempat lain. Aku mendengar deru motor yang kian lama makin mengeras, tapi motornya belum melewati ku.

TETTTTTTTTT..

Aku terkejut dan refleks mundur ke kiri karena mendengar suara klakson motor yang begitu keras dari sebelah kananku. Aku menoleh ke asal suara. Siap-siap menyemburkan kemarahan ku pada si pengendara. Tapi, yang aku lihat malah si Bagas yang sedang asyik menertawai tingkahku.

"Eh, kampret banget kamu, Gas."kataku kesal.
"Ahahah, lagian. Kalau kamu liat ekspresi kamu tadi, kamu juga pasti ketawa ngakak kaya aku."balasnya lalu menarik tanganku."Ayo, pulang bareng sama aku."
"Kga, aku ngga sudi nempelin pantat aku dijok motor kamu."
"Ih, kamu."Bagas menyentil kening ku menggunakan tangan yang satunya lagi.
"Sakit."semburku.
"Jadi cewek jangan galak, nanti ngga ada yang mau, loh."ledeknya.
"Bodo."balasku.

Akhirnya, setelah dipaksa berkali-kali, aku mau juga naik ke jok nya. Aku melihat bayangan Bagas yang sempat tersenyum terpantul dari kaca spion. Kalau dipikir-pikir, Bagas lah orang terdekatku selain mamah dan Urel. Oh, ya, Urel. Aku nyaris lupa. Mumpung aku lagi ditebengin, ini adalah kesempatan emasku.

"Gas, kamu tau alamat rumah Urel?"tanyaku sambil mendekatkan mulutku ke telinganya.
"Kenapa? Kamu mau aku anterin kerumahnya?"

Yap. Bagas selalu mampu menebak keinginanku dengan baik. Sepertinya semakin hari aku semakin nyaman bersamanya.

"Yaa.., itu kalau kamu ngga..,"aku sengaja tidak melanjutkan kata-kataku.
"Aku ngga keberatan, kok. Kita otw kerumah Uler."katanya."Maksudku Urel."

Aku nyaris tertawa dibuatnya. Ingin sekali aku tertawa terbahak-bahak ditelinga nya, tapi takutnya hal itu berujung kecelakaan dan membuat kami masuk rumah sakit (sebenarnya masih bersyukur banget cuma masuk rumah sakit, kalau sampai is dead? Nyaho dah).

"Gas, kamu tau dia sakit apa?"tanyaku lagi.
"Dia kanker, Chol."jawab Bagas dengan nada mengasihani.
"Ah!! Seriusan kamu??"aku terkejut. Urel?? Kanker??
"Kantong kering maksudku."katanya lagi.

Aku menganga. Rasanya ingin sekali aku membakar kepala orang ini, lalu aku santap dengan sambal dan lalapan.

"Aku sih ngga tau pasti."Bagas menoleh ke arahku sekilas."Tapi, ini sangat bermasalah."
"Maksud kamu, Gas?"aku bingung.
"Kamu kenapa bisa berteman sama dia?"tanya Bagas padaku.
"Aku ngga tau. Intinya, aku berteman sama dia ngga memandang materi atau apapun, dia ya dia. Dan berteman sama Urel membuatku merasa jadi diriku sendiri."
"Kalau begitu, kamu jangan mengecewakannya dikemudian hari. Aku yakin, dia juga merasakan hal yang sama dengan kamu."
"Maksud kamu apa sih, Gas?"aku bingung setengah mati. Kenapa Bagas menanyakan hal itu.
"Selalu ada hal yang tidak pernah kamu banyangkan. Apapun yang terjadi dimasa lalu seseorang, kamu tetap harus menerimanya apa adanya."

Bagas tidak bicara lagi. Sedangkan aku cuma termenun, memikirkan kata-kata Bagas yang menjadi tanda tanya dipikiranku.

Apa yang sebenarnya terjadi?

**

ALL IN LOVE..Where stories live. Discover now