7 | Tak Cukup Berarti Membuatku Bertahan || B
Sejujurnya, patah hati tidak hanya dirasakan oleh mereka yang selalu merasa ditinggalkan. Tetapi, bagi sebagian orang yang meninggalkan dengan satu alasan namun tidak dengan keinginan, hal tersebut juga mampu disebut sebagai suatu keadaan patah hati - Karina Ayu Pradita.
*
Sejak pertemuannya dengan Violina minggu lalu, Ayas belum bertemu lagi dengan perempuan itu. Ralat, bukan belum bertemu kembali. Tapi, ia mencoba berusaha untuk tak menemuinya lagi setelah perdebatan mereka hari itu.
Yang dilakukannya selama seminggu ini, hanya merenung. Merenungkan hubungan keduanya yang tak pernah berjalan mulus-semulus apa yang dibayangkannya selama ini. Merenungkan kesalahan demi kesalahan yang dilakukannya hanya untuk menyenangkan perempuan itu dengan cara yang salah-tanpa tahu konsekuensi seperti apa yang akan terjadi nantinya di masa yang akan datang.
Dan kali ini, entah apa yang menuntun langkah kakinya berdiri di depan sebuah rumah minimalis-yang ia ketahui sebagai rumah Rafa-seseorang yang menjadi salah satu alasan perdebatan di antaranya dengan Vio minggu lalu itu. Yang jelas, lelaki itu menyadari, bahwa hati kecilnya yang berperan penting untuk melakukan hal ini. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak awal, namun tak pernah dihiraukannya sedikit pun karena rasa cintanya yang terlampau besar untuk perempuan itu, dulu.
"Ngapain lo di sini?" suara itu terdengar dengan nada skeptis seperti apa yang dibayangkannya, yang membuatnya tak heran, karena ia sendiri pun menyadari bahwa kedatangannya tak pernah diharapkan oleh si pemilik rumah yang ada di hadapannya ini.
Ia membalikkan badannya, menghadap seseorang yang menatapnya dengan tatapan tajam dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. Sikap yang selalu orang itu tunjukkan pada orang yang tidak disukainya atau merasa tak nyaman dengan siapa pun yang sedang berhadapan dengannya-tak terkecuali dirinya sendiri.
"Ada hal yang mau gue bicarakan sama lo. Lo ada waktu?" tanyanya tanpa basa-basi, tanpa menghiraukan pertanyaan yang terucap dari mulut lelaki itu.
"Setelah apa yang lo lakukan sama gue hari itu, lo pikir, gue masih mau berurusan sama lo lagi?" tanyanya, lagi-lagi dengan nada skeptis disertai senyuman miring setelahnya.
Ayas menarik napasnya gusar. "Oke, gue akui, kalau kesalahan gue cukup fatal hari itu," ujarnya. "Tapi sekali ini aja, gue mohon dengan sangat, kasih gue kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Raf. Setelah itu, terserah lo. Apa pun yang mau lo lakukan sama gue, gue bakalan menerimanya dengan lapang dada."
"Tumben..," ujar Rafa ringkas, yang membuat keningnya berkerut tak mengerti. "... tumben lo bersikap bijak dengan cara mengakui kesalahan lo kayak gini," ujarnya kemudian, yang mengundang senyuman kecil di bibir Ayas.
"Gue lagi berusaha bersikap dewasa, Raf," ujar Ayas sambil mengedikkan bahunya sekilas. "Dan gue pikir, dengan cara mengakui kesalahan gue kayak gini adalah salah satu cara untuk mendewasakan diri gue."
"Ehm.. Okee," ujar Rafa tak acuh, enggan berkomentar banyak tentang perubahan kecil yang terjadi pada lelaki di hadapannya ini. Walaupun sebagian hati kecilnya merutuki setiap perkataan yang lelaki itu katakan. Bersikap dewasa seperti apa maksud lo, kalau perbuatan lo selama ini aja nggak mencerminkan sikap dewasa sedikit pun di diri lo sendiri?
YOU ARE READING
Luka
Short StoryKuceritakan kepadamu, tentang luka yang kudapatkan di masa lalu. Adalah kau, yang memberikanku kebahagiaan semu, lalu pergi meninggalkan secercah luka yang kautorehkan di hatiku. Adalah dia, yang datang dengan sejuta pesona yang dimilikinya. Menghap...