6 | Tak Cukup Berarti Membuatku Bertahan || A

91 5 0
                                    

6 | Tak Cukup Berarti Membuatku Bertahan || A

"Ini udah bulan keempat semenjak lo nyuruh gue buat deketin dia," ujar Ayas tiba-tiba pada Vio, perempuan yang duduk di hadapannya itu.

"Terus?"

"Mau sampai kapan, lo libatin gue dalam permainan yang lo buat ini?" Ayas bertanya balik, tanpa memedulikan ekspresi Vio yang tampak enggan membahas arah pembicaraannya.

"Entah," ujar Vio tak acuh sambil mengedikkan bahunya sekilas. "Gue nggak tahu sampai kapan ini bakalan berakhir. Yang jelas, melihat dia jadi kayak sekarang ini, merupakan satu kesenangan buat gue."

"Tapi lo nggak bisa selamanya kayak gini, Vi. Lo nggak bisa terus-terusan melakukan hal ini cuma untuk menyakiti orang yang nggak ada salah apa pun sama lo. Apalagi, cuma gara-gara lo nggak suka melihat dia bahagia, lo tega melakukan hal ini sama dia."

"Lo bilang kayak gini..., bukan karena lo udah nggak mau bantuin gue lagi, 'kan?" tukas Vio sambil melipat kedua tangannya di depan dada, tatapannya menajam saat melihat Ayas mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Jadi bener karena itu?"

Mendengar nada suara lawan bicaranya itu yang terdengar berbeda dari sebelumnya, membuat Ayas kembali mengarahkan tatapannya ke arah Vio. "Nggak, bukan karena itu," ujar Ayas tegas dengan penekanan tiap kata per katanya.

"Trus, apa yang jadi alasan lo bilang kayak gitu, kalau emang bukan karena itu?" tanyanya lagi pada Ayas, namun sebelum lelaki itu menjawab pertanyaannya, ia kembali melanjutkan perkataannya. "Oh atau... ini ada hubungannya sama hari itu ya? Saat lo dibikin babak belur sama Rafa, makanya lo bilang kayak gitu sama gue?"

Ayas menggeleng tegas. "Nggak, Vi. Ini nggak ada hubungannya sama sekali sama hal itu," ujarnya sambil mengembuskan napas dalam. "Gue cuma ... nggak mau, lo terus-terusan nyimpen dendam yang nggak jelas sama sekali alasannya karena apa."

"Siapa bilang dendam gue nggak beralasan?" sentak Vio kasar, tatapannya menajam kembali karena mendengar perkataan Ayas. Jelas, ia mulai merasa terganggu dengan apa yang lelaki itu katakan. "Gue melakukan hal ini bukan tanpa alasan, Ayas," ujarnya penuh penegasan. "Selalu ada alasan disetiap apa yang gue lakukan. Lo cuma ... orang luar yang nggak tahu apa-apa," lanjutnya kemudian, yang membuat lelaki itu terdiam selama beberapa detik.

"Gitu?" tanya Ayas disertai dengan tarikan napas kasar yang keluar dari mulutnya. "Jadi di mata lo selama ini, gue cuma orang luar yang nggak tahu apa-apa, begitu?" tanyanya lagi, kali ini disertai dengan senyuman kecut yang terpampang di bibirnya. "Sebegitu nggak berartinya ya, gue di mata lo."

Mendengar nada skeptis yang dilontarkan oleh lelaki di hadapannya ini, serta merta membuat Vio sulit untuk menelan salivanya barang itu juga. Entah karena alasan apa, yang jelas, sukses membuat sebagian hati kecilnya merasakan perasaan bersalah pada lelaki di hadapannya ini.

"Kenapa diam?" tanya Ayas, saat melihat tak ada tanda-tanda yang menunjukkan sanggahan terhadap perkataannya tadi dari perempuan itu. "Apa emang, cuma respons seperti ini yang bisa lo berikan sama gue, ketimbang jawaban yang berarti dari mulut lo itu?"

"Jawaban seperti apa lagi yang lo harapkan dari gue, Ayas?" tanya Vio skeptis, "apa perkataan gue tadi, nggak cukup, untuk menjawab semua keingintahuan lo tentang gue?"

Ayas menggeleng. "Nggak, nggak akan pernah cukup, kalau lo sendiri nggak pernah ngasih kesempatan benar-benar buat gue untuk mencari tahu apa pun yang gue pengin tahu tentang lo," ujar tegas. "Tapi bukan itu yang pengin gue dengar dari mulut lo, gue cuma pengin tahu jawaban lo atas pertanyaan gue tadi. Apa sebegitu nggak berartinya, gue di mata lo?"

"Gue..."

"Cukup jawab pertanyaan gue, Vio," sentak Ayas tak mau dibantah.

"Fine," ujar Vio akhirnya. "Lo emang nggak pernah berarti apa-apa di mata gue. Puas lo?"

Bahunya merosot seketika saat jawaban dari pertanyaannya itu akhirnya terucap dari bibir perempuan itu. Tapi bukan jawaban seperti inilah yang sebenarnya ia inginkan.

Ayas menarik napasnya lagi, kali ini lebih terasa berat daripada yang sebelum-sebelumnya. "Kalau begitu, ucapkan selamatkan tinggal untuk gue dan harapan-harapan gue selama ini," ujarnya, yang membuat lawan bicaranya itu menahan napas karena perkataaannya. "Yaa, seperti yang lo bilang. Gue emang nggak pernah berarti apa-apa buat lo, begitupun dengan semua harapan gue buat lo. Semuanya nggak berarti apa-apa."

"Yas!"

"Selamat tinggal, Violina.Cukup sudah sampai di sini, perjuangan gue selama ini." ujar Ayas sambilberanjak dari duduknya, tanpa memedulikan perkataan protes apa pun dariperempuan itu, ia pun berlalu tanpa berniat sekalipun untuk menengok kembali kebelakang. []

_____

A/N Ini spin off-nya Ayas-Vio dicerita Unfriend You yaa. Pengennya... langsung end aja sampe di sini, atau 1-2 part lagi? Hehe. Jangan lupa tinggalkan vote & comments-nya yaa. Yuuk, belajar jadi pembaca yang baik hihi. Eh satu lagi... Jangan lupa buat follow akun kami Irizesfladys yaa!

17/09/15



LukaWhere stories live. Discover now