Chapter 6 : If Someday, "I Had My Own Life."

790 27 0
                                    

Pagi ini aku akan pergi ke perkumpulan motivasiku seperti biasanya. Namun, aku berangkat lebih pagi karena ayah harus sampai lebih awal di kantornya. Aku keluar dari kamarku sambil membawa tabung oksigen dan tas yang kusandangkan bersamaku.
Ternyata, ayah belum siap. Jadi, aku memutuskan untuk duduk sejenak di kursi tamu seraya membaca novel yang kubawa didalam tasku. Tak terasa, aku hampir menghabiskan buku cerita itu karena rutinitasku yang berubah. Lagipula, buku novelnya juga menarik.
"Teix, jangan lupa untuk bawa ini." ujar Gardner yang memberikanku kotak makan berisi dua roti lapis.
"Terima kasih banyak, kak. Kau yang membuatnya?" tanyaku.
"Tidak. Ellsbury yang membuatkannya untukmu. Aku hanya mengantarnya saja kepadamu sebelum kau berangkat ke perkumpulannya." ujar Gardner seraya tersenyum kepadaku. Aku pun tersenyum kepadanya. Kemudian, aku memasukkan kotak makannya kedalam tasku.
"Baiklah, aku mungkin akan berangkat sekarang bersama Ellsbury. Hati-hatilah, Teix." ujar Gardner seraya menyandang tasnya. "Ayah, aku berangkat!" ujar Gardner berpamitan pada ayah.
"Ya, hati-hatilah, nak!" ujar ayah seraya menggunakan dasinya dan keluar dari kamar untuk melihat putranya berangkat.
"Aku tidak akan pulang terlambat, yah." ujar Ellsbury seraya menghampiri ayah.
"Berhati-hatilah, nak." ujar ayah seraya meletakkan kedua tangannya diatas bahu Ellsbury.
"Pasti, yah." ujar Ellsbury tersenyum.
"Berangkatlah, nak." ujar ayah. Ellsbury pun berjalan menuju ke pintu dan berpamitan denganku. "Aku berangkat, Teix. Hati-hatilah." ujar Ellsbury.
"Tentu saja, kak. Terima kasih banyak." ujarku. Ellsbury hanya tersenyum padaku dan berlalu seketika. Aku kembali terfokus pada novelku.
Tak lama, ayah selesai mempersiapkan semua kebutuhannya. Namun, aku masih terfokus pada novelku. Dan beruntung saja, ayah segera menghampiriku dan menyadarkanku untuk segera berangkat.
Kami pun meninggalkan rumah dan menaiki mobil. Seperti biasanya, aku duduk di belakang. Ayah menyetir-mengeluarkan mobilnya dari halaman dan kami pun berangkat.
Selama perjalanan, ayah sama sekali tak berbincang denganku. Namun, aku tak merasa bahwa ia memiliki masalah dengan pekerjaannya. Jadi, aku diam saja dan menikmati pemandangan seperti biasanya sebelum aku sampai ke perkumpulan motivasinya. Dan aku berharap hari ini aku yang menunggu Dave, karena aku belum pernah sama sekali melakukan itu untuknya.

'*'*'*'*'

Akhirnya aku sampai di perkumpulan motivasiku. Aku sangat lega karena aku memang datang lebih awal dari sebelumnya dan aku tak melihat Dave yang menungguku. Ayah langsung menuntunku keluar dari mobilnya hingga ke halaman tempat biasanya aku menunggunya saat pulang.
"Kurasa ayah mengantarku sampai disini saja, yah. Aku tak ingin ayah terlambat bekerja." ujarku.
"Tapi, ayah takut jika itu membuatmu keberatan, nak. Ayah akan mengantarmu sampai kedalam." ujar ayahku.
"Tidak apa-apa, yah. Ayah tahu aku menungguku Dave, teman sekelas motivasiku, yah." ujarku seraya tersenyum pada ayah.
"Kalau begitu, kau benar-benar ingin ayah mengantarmu sampai disini saja?" tanya ayahku ragu.
"Ya, ayah. Aku akan menunggunya disini. Dan aku akan baik-baik saja, yah." ujarku meyakinkannya.
"Baiklah jika begitu, nak. Ayah berangkat dahulu. Tunggu ayah disini jika kelasmu sudah bubar, ayah akan menjemputmu seperti jam biasanya." ujar ayah.
"Baik, ayah. Terima kasih banyak sudah mengantarku, yah." ujarku.
"Tak masalah, nak. Bersenang-senanglah." ujar ayah yang memelukku sesaat dan mengecup keningku. "Ayah berangkat sekarang." ujar ayahku berpamitan denganku.
"Hati-hati, yah." ujarku. Ayahku telah menuruni tangga gedung dan meninggalkanku di kursi tunggu. Kulihat dirinya yang melambaikan tangan kepadaku dan kemudian masuk kedalam mobilnya-menyetir menuju ke kantornya.
Aku segera menduduki kursi tunggu dan menunggu kedatangan Dave bersama ayahnya yang mengantarnya dengan mobil layaknya aku. Lagi-lagi, aku membuka novelku dan membacanya seraya menunggu Dave.
Sungguh tak terasa olehku bahwa aku telah menunggunya selama 10 menit sejak kedatanganku, dan Dave tak kunjung datang. Namun, aku bersikeras untuk menunggunya. Lagipula, kelas motivasi dimulai pukul 08.00.
Alhasil, Dave datang seperti dugaanku. Ia langsung turun dari mobilnya dan menghampiriku. Kelihatannya ia sangat antusias hari ini. Namun, aku tak lebih baik jika aku tak melihatnya bahagia layaknya aku.
"Selamat pagi..." ujar Dave dengan bahasa sandi tunarungu-nya kepadaku.
"Selamat pagi juga, Dave." ujarku yang membalasnya dengan bahasa sandi tunarungu juga.
"Ayo, kita ke kelas, Mark." ujar Dave dengan bahasa sandinya seraya tersenyum padaku. Aku mengangguk padanya.
Kami berjalan bersama menuju ke kelas motivasi. Sambil berjalan menuju ke kelas, kami berbincang sedikit dengan bahasa sandi tunarungu agar kami saling mengerti. Aku sudah belajar banyak dari Dave dan itu sangat membantuku mengerti apa yang ia hendak bicarakan padaku.
Sampai di kelas, aku dan Dave segera duduk di tempat yang biasanya. Kelas terasa berbeda sejak aku masuk pertama kali, dan semuanya memang berubah. Tidak ada teman yang tidak berbincang. Semuanya terlihat lebih berwarna sekarang.
Dr. Whitley memasuki kelas kami dan membawa beberapa poster. Itu sangat menarik perhatian kami. Ia memasangnya menghadap kearah kami dan memulai acara motivasi hari ini.
"Selamat pagi, tuan-tuan muda." ujar Dr. Whitley seraya tersenyum kepada kami semua. Dan ia menyapa Dave dengan bahasa sandinya. Dave menjawabnya dan tersenyum padanya.
"Hari ini, kita akan membahas tentang hal yang kalian takuti dan apakah hal yang kau takuti tersebut sangat berpengaruh dengan kehidupan kalian. Kalian pasti tahu apa yang akan kalian jawab, tuan-tuan muda." ujar Dr. Whitley.
Aku rasa aku tak tahu harus menjawab apa. Aku memiliki banyak ketakutan dalam hidupku.
"Dan yang akan maju pertama kali adalah Dave." ujar Dr. Whitley. Ia pun kemudian memberikan bahasa sandinya kepada Dave untuk maju pada pembukaan motivasi hari ini. Dan Dave pun maju ke hadapan kami semua.
"Boleh aku mulai?" tanya Dave dengan bahasa sandi tunarungu-nya kepada Dr. Whitley.
"Tentu saja, Dave." ujar Dr. Whitley membalas Dave dengan bahasa sandi tunarungu-nya.
"Aku David Robertson. Hal yang aku takuti didalam hidupku adalah tersesat." ujar Dave dengan bahasa sandinya.
'Tersesat.' ujar benakku seraya memperhatikannya.
"Baiklah, Dave takut tersesat. Ia mungkin tidak terbiasa pergi sendiri." ujar Dr. Whitley kepada kami semua. Sementara Dave hanya tersenyum dan membuat semua itu memang benar adanya tentang dirinya.
"Kalau begitu, aku juga sama." sahut Phelps dengan bahasa sandi tunarungu-nya kepada Dave. Dave tersenyum pada Phelps sebagai penanggapannya.
"Baiklah, kita bisa melanjutkannya. Terima kasih banyak, Dave." ujar Dr. Whitley. Dave kembali ke kursinya.
"Kini giliranku, Dave." ujarku kepada Dave dengan bahasa sandi tunarungu.
Aku berjalan ke hadapan mereka dengan membawa tabung oksigenku seperti biasanya. Dan aku mulai mengutarakan ketakutanku kepada mereka semua.
"Aku Mark Teixeira Girardi, ketakutanku adalah gagal dalam suatu hal yang kulakukan." ujarku. Semuanya menatapku. "Aku sangat tidak suka kegagalan, karena sulit untuk mengulanginya jika aku ingin berhasil." ujarku menekankan.
"Mark takut dengan kegagalan. Mengapa, Mark?" tanya Dr. Whitley.
"Kegagalan sangat membuatku kesulitan untuk mengulang semuanya dari awal, pak. Meskipun aku tahu bahwa hidup memiliki peluang yang banyak." ujarku menjawab pertanyaan Dr. Whitley. Dr. Whitley terdiam sejenak dan memperhatikanku. Ia seperti berpikir tentang suatu hal. Dan aku tak dapat membacanya.
"Itu semangat yang bagus dan aku baru mendengarnya. Kau takut kegagalanmu akan apa, nak?" tanya Dr. Whitley.
"Aku takut aku gagal memperjuangkan kesehatanku, pak." jawabku.
"Semoga kau selalu diberkati Tuhan, nak. Kami disini akan mendukungmu, kami akan saling mendukung satu sama lain. Kalian semua pasti berhasil untuk mengalahkan penyakit yang kalian derita, nak." ujar Dr. Whitley.
"Amin." ujar kami semua serempak.
Kelas motivasi pun bubar. Aku dan Dave seperti biasa keluar bersama dan menunggu ayah kami masing-masing di kursi tunggu. Kami kembali berbincang tentang beberapa hal sembari menunggu ayah kami menjemput.
Saat tengah menunggu, seketika aku mendengar seseorang memanggil namaku. Itu Ellsbury. Ia menjemputku. Aku bingung karena ayah tidak menjemputku hari ini. Ellsbury segera menyusuri tangga dan menaikinya. Ia menghampiriku.
"Teixeira, maaf ayah tak bisa menjemputmu hari ini. Jadi, ayah ingin aku menjemputmu." ujar Ellsbury.
"Baiklah, kak. Lagipula tidak perlu ada yang dipermasalahkan." ujarku seraya tersenyum kepada Ellsbury.
"Kakak bantu membawa ranselnya, Teix." ujar Ellsbury. Ellsbury menoleh untuk sesaat dan memandang Dave. Mungkin ia tahu itu adalah Dave. Ellsbury menyapanya.
"Halo. Kau pasti Dave, teman Teix." ujar Ellsbury seraya mengulurkan tangannya-mengajak Dave berjabat tangan dengannya.
"Ia ingin berkenalan denganmu. Dia kakakku, Dave." ujarku dengan bahasa sandi tunarungu kepadanya. Dave pun tersenyum.
"Namaku Jacoby Ellsbury Girardi. Senang berkenalan denganmu, Dave." ujar Ellsbury. Lalu, aku menunjukkan tulisan itu kepada Dave.
"Senang berkenalan denganmu, kak. Aku David Alan Robertson, teman dari Mark." ujar Dave melalui tulisannya yang diberikannya kepada Ellsbury.
"Senang berkenalan denganmu juga, Dave. Benar 'kan?" ujar Ellsbury melalui tulisannya di notepad-ku yang kemudian diberikan kepada Dave.
"Ya. Dave." jawab Dave.
"Terima kasih sudah menemani Mark, Dave. Maaf karena merepotkanmu banyak. Sampai jumpa esok, Dave. Terima kasih sekali lagi." ujar Ellsbury. Dave membaca tulisannya dengan seksama. Ia kembali tersenyum dan mengangguk-mengiyakannya.
"Terima kasih untuk hari ini, Dave. Sampai jumpa esok." ujarku dengan bahasa sandi kepada Dave.
"Tidak masalah, Mark." ujar Dave seraya tersenyum kepadaku. Aku pun meninggalkan Dave disana dan pulang bersama Ellsbury. Hari ini aku akan menaiki bus sepertinya.
Aku berjalan bersama Ellsbury menuju halte bus. Saat sampai, kami ternyata terlambat. Bus pertama telah pergi dipenuhi penumpang. Jadi, kami harus menunggu untuk pemberhentian berikutnya.
"Tidak apa-apa 'kan jika harus menunggu, Teix?" tanya Ellsbury.
"Ya, tak apa-apa, kak." ujarku seraya tersenyum kepada Ellsbury.
Aku kembali membuka novelku dan membacanya dengan tenang. Sementara Ellsbury hanya memperhatikan keadaan. Sepertinya, Ellsbury ingin cepat sampai ke rumah.
Saat tengah membaca novel, dadaku kembali terasa sakit. Awalnya aku merasa bahwa aku bisa mengatasinya sendiri, tetapi itu semua sia-sia. Buku novelku terjatuh dari genggamanku dan Ellsbury menoleh dengan terkejut.
"Teixeira, ada apa? Teixeira." ujar Ellsbury yang mencoba mendapatkanku. Sementara, napasku mulai terasa tersengal-sengal dan pandanganku benar-benar kabur. Ellsbury mencoba mengguncang tubuhku, namun itu sama sekali tak bekerja. Aku tak sadarkan diri.
"Teixeira! Teixeira!" panggil Ellsbury yang mencoba menyadarkanku kembali. "Tolong! Seseorang tolong aku disini!" teriak Ellsbury yang mencari pertolongan.
"Teixeira, bertahanlah. Kakak mohon kepadamu." ujar Ellsbury yang mulai menangis.
"Tolong aku! Seseorang tolong aku!" teriak Ellsbury. Beberapa orang mendatangi Ellsbury dan mulai menolongnya mencari pertolongan untukku.
"Hubungi polisi dan panggil ambulan secepatnya." ujar seseorang yang saat itu berdatangan kepada Ellsbury.
Ellsbury hanya bisa menangis saat itu dan tak tahu apa yang harus ia lakukan untukku. Ia merasa bersalah seakan ia tak menjagaku dengan baik. Akhirnya, ambulan datang. Ellsbury segera menggendongku dan membawaku ke ambulan. Paramedis membaringkanku di tempat tidur darurat dan segera memasukkanku kedalam ambulan. Ellsbury turut mendampingiku dalam perjalanan ke rumah sakit.

You're Not A BurdenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang