.......
"Dirga, jangan kelontengan gitu nak.." suara protes ayahku terdengar samar dari ujung ruangan. "Nanti loyang baru ayah penyok lagi."
Aku mengangkat kepala dan tersenyum geli.
"Lah, itu si Rian yah," sahutku iseng. Kenyataannya memang bukan aku yang sedang menggebuk panci dengan ributnya. "Siapa lagi yang ngedrumnya sejelek itu."
Rian adikku berdiri dan berkacak pinggang persis di hadapanku. Ia lalu menepuk gitar yang sedang kupangku dengan satu gerakan cepat, menghasilkan bunyi 'buk' pelan. Aku memelototinya.
"Si Denta Raka yang lagi didapur!" Rian membela diri, suaranya sengaja dikeraskan agar ayah mendengar. "Alah kaya mas Dirga bisa aja main gitarnya."
Ayah membalas dengan bergumam tak jelas. Ia sedang berjongkok, sibuk menghitung kotak-kotak tempat kue yang menumpuk di ruang tengah. Rupanya protes tadi sengaja hanya untuk menggoda anak-anaknya.
Para pelaku yang ternyata memang benar si kembar Denta dan Raka malah semakin asik menggempur peralatan masak milik Ayah, tidak peduli dengan sahut-sahutan bising di sekitar mereka.
Denta mengayunkan ujung mixer di tangannya ke udara. Ia lalu bersorak dan memukulkannya dengan brutal ke loyang-loyang dan panci yang diletakkan terbalik--juga ditirukan oleh Raka yang duduk di sampingnya. Suara denting tak beraturan langsung memenuhi dapur. Suasana sore ini mendadak sangat heboh. Aku hanya terkekeh sambil melanjutkan berlatih gitar.
Sepuluh menit kemudian, kulihat Ayah tengah berdiri di ambang pintu. Sambil memijit-mijit lengan kirinya yang kebas, ia tersenyum geli melihat kelakuan anak-anaknya. Aku berani bertaruh bahwa loyang baru itu pasti sudah penyok lagi, tapi Ayah hanya tersenyum menghela napas.
Ia memang tidak pernah marah.
Selalu saja sesabar itu, bahkan kurasa kesabarannya malah semakin bertambah setelah Ibu meninggal. Satu hal yang cukup sulit untuk dipahami--mengingat betapa bandel dan liarnya kami berempat--tapi itu justru membuat kami merasa sangat dicintai.
"Denta Raka boleh terusin mainnya, tapi jangan geser geser ya.." perintah Ayahku lembut, kemudian ia bersandar di tepian meja dapur.
Di tangan kanan ia menggenggam pensil dan sebuah buku sketsa yang memang banyak bertebaran di dalam rumah (kata Ayah 'biar nggak susah mencarinya')--tanda bahwa ia akan menggambar si kembar yang heboh bermain drum.
Ayahku memang hobi dan jago menggambar sketsa. Katanya, sejak kecil ia sudah dikursuskan menggambar. Hasilnya gambarannya seringkali sangat bagus sampai-sampai kami memuji penuh ketulusan, tapi ia selalu merendah dengan berkata 'ini cuma coretan berantakan, nak..'.
Benar-benar pribadi yang rendah hati.
Sekitar sepuluh menit berlalu, Ayah bergumam "Nah, selesai."
Tak lama berselang, terdengar bunyi 'ting' dari arah panggangan, tanda bahwa kue-kue bikinan Ayah sudah matang. Ia buru-buru meletakkan buku sketsanya di meja dapur. Lalu ia menoleh tepat ke arahku, membuat kontak mata yang mengkodekan 'dapurnya mau Ayah pakai'.
Aku yang mendapat komando segera melepaskan gitar dan merebahkannya di sofa. Ayah masih berdiri menunggu ketika aku mulai bangkit dan berjalan malas ke arah dapur. Ia sempat menepuk-nepuk pelan kepalaku saat aku lewat tepat di hadapannya, sebuah gestur yang sangat lumrah ia lakukan pada kami.
Aku tersenyum, lalu berjongkok dibelakang si kembar dan mencolek punggung mereka. Keduanya tak acuh sambil terus menabuh 'drum'.
Oh, jadi mau minta cara paksa ya, pikirku gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam; kisah panjang tentang Ayahku
Randomkisah panjang tentang seorang anak laki-laki dan ayahnya yang gay.