The White Ballroom

2.9K 253 11
                                    

Sofitel Berlin Kurfuerstendamm, Berlin, German.

William mendesah pelan, dengan malas ia mengambil kemejanya dan mulai mengancing kancing kemeja armani suit-nya yang berwarna hitam. Ia kenakan rompi berwarna abu metaliknya itu. Ketika rompi itu melekat ditubuhnya yang atletis itu, tangannya mengambil sebuah jas yang senada dengan warna rompinya itu.

"William? Kau sudah siap?" Tanya Christian Duport begitu keluar dari kamar mandi yang di sediakan di kamar hotel itu.

"Ayah bisa melihatnya bukan?" tanya balik William sambil menatap ayahnya dengan agak malas.

Christian mengangguk lalu ia mengambil jasnya yang berwarna hitam itu.

"Ayo berangkat. Acaranya tigapuluh menit lagi."

"Hm." balas William singkat.

Dua pria bermarga Duport itu meninggalkan kamar hotel. Selama berjalan menuju lift hanya teredengar suara khas sepatu pantofel.

"Ini pesta dansa untuk merayakan ulang tahun usaha keluarga White. Kurasa kau sudah mengenalnya bukan? Temanmu putri dari keluarga White bukan?"

"Iya. Lucu sekali, masih berlaku ya pesta dansa pada zaman sekarang?" Tanya William yang hanya di balas oleh Christian dengan menaikan kedua bahunya tanda tidak tahu.

"Aku tidak tahu. Tapi rumor yang beredar selain tradisi ini untuk mengenang putri bungsu mereka yang meninggal dua puluh tahun yang lalu."

.

.

Megah, mewah dan terkesan seperti kastil di era zaman dulu namun lebih modern adalah deskripsi yang cocok untuk menggambarkan tempat berlangsungnya acara keluarga White di Jerman.

Sangat otentik. Itulah kesan William pertama kali begitu memasuki rumah bak istana itu.

Rumah keluarga Bangsawan White masih mempertahankan gaya aristekur istana untuk menjadi tempat mereka tinggal.

"Keluarga White masih ada darah biru. Tunjukkan karismamu, William," kata Christian memperingatkan.

William menganguk lalu ia melangkah bersama ayahnya ke ballroom yang ada di rumah itu.

"Sepertinya yang kuundang adalah Tuan Richard Duport. Bukannya Tuan Christian Duport berserta anaknya," cibir seorang pria yang usianya kira-kira empat puluh empat tahun itu.

"Oh, Tuan Leopaldo. Maafkan aku, ayah masih lelah setelah mengajak cicitnya berlibur ke Milan," balas Christian.

Leo menghela nafas lalu ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Christian.

"Tidak peduli siapa yang datang. Suatu kehormatan jika keluarga Duport bersedia datang ke pesta ini," tutur Leo begitu Christian membalas jabat tangannya.

"Seharusnya kami yang berkata seperti itu. Bagaimana kabar Tuan Albert?" Tanya Christian.

"Ayah sehat. Mari membaur dengan tamu yang lain. William jangan sia-siakan ketampananmu nak. Siapa tahu kau bisa menemukan jodohmu," goda Leo yang hanya dibalas William dengan fake smile.

"Sayangya hatiku sudah diisi oleh seorang gadis," balas William.

"Jadi siapa gadis yang beruntung ini?"

"Anda tidak mengenalnya Tuan Leopaldo."

"Apakah dia gadis biasa?"

Gadis biasa? Kurasa tidak karena pakaian Aretha menunjukkan kalau dia berasal dari keluarga yang berada.

She Is My GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang