ne-yo - so sick
▪️ ▪️
Yang Valerine tahu, ia tidak pernah merasa beruntung seumur hidupnya. Sudah sembilan belas tahun gadis itu hidup di dunia, namun rasanya ia hanya merasakan kesialan dan perpecahan di hidupnya. Ibunya memberi tahu Valerine di ulang tahunnya yang ke lima bahwa sang Ayah sudah tiada. Itu merupakan kado terburuk yang pernah ia dapat.
Bahkan ketika beberapa tahun kemudian ibunya menitipkan Valerine pada sang Paman, Valerine tidak merasa sesedih ditinggal Ayah meskipun semenjak hari dititipkannya, Ibu tidak pernah kembali. Ia justru tahu, tidak semua orang akan tetap tinggal. Tidak semua orang akan selalu bersamanya. Ia tahu, pada akhirnya semua akan meninggalkan dirinya.
Tepat di umurnya yang ke sepuluh, dua pekan setelah menunggu Ibu yang tidak kunjung kembali, Valerine berhenti menaruh harapan pada siapapun.
“Kupikir karena kita tidak akan bertemu lagi dalam beberapa waktu, aku harus berterima kasih dan menjelaskan beberapa hal padamu, Valerine,” ujar Niall ketika mereka sama-sama menyantap panekuk untuk sarapan pagi ini.
Valerine menatap Niall. Ia menatap sebuah keberuntungan yang tidak ia duga akan datang padanya. Ini terlalu membuatnya bersyukur karena ia tidak pernah berpikir akan bertemu salah satu idolanya, favoritnya. Meskipun sang idola tidak tahu seberapa ia mengaguminya, ia bersyukur. Ia senang.
Gadis itu mengangguk. “Omong-omong, kau boleh memanggilku Vale.”
“Baiklah, Vale. Seperti yang kemarin kubilang, aku merupakan salah satu member dari band One Direction, walaupun kau tak tahu apapun mengenai itu, aku tetap harus menceritakannya, Vale,” jelas Niall membuat Valerine mengangguk kikuk.
“Lalu?” tanya Valerine.
“Sejujurnya aku sedang kabur, semua pihak kini mencariku. Mungkin kepolisian juga. Aku menyusuri jalan London dan menaiki stasiun menuju Leceister, dan tidak mengejutkan jika mereka menemukanku di sini.”
Kabur? Astaga! Jadi, kini Valerine sedang menampung orang yang sedang kabur! Pikiran negatif mulai menyeruak di kepalanya. Rasa cemas mulai muncul. Bagaimana jika Niall tertangkap di apartemennya dan ia diduga penculik? Bagaimana jika polisi menangkapnya? Bagaimana jika ini semua menjadi buruk? Bagaimana jika hidupnya yang sudah pelan-pelan ia susun berantakan?
Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh gadis di hadapannya, Niall berdeham canggung. Membuat lamunan dan pikiran Valerine buyar. “Aku berjanji ini akan baik-baik saja. Aku tidak akan melibatkanmu, justru aku bersyukur bertemu denganmu.”
“Tapi, mengapa kau kabur, Niall?” tanya Valerine akhirnya.
Lelaki itu menghela napas. “Aku dipaksa melakukan hal yang tidak ingin aku lakukan untuk menaikkan pamor band-ku. Kau tahu, kehidupan selebritas terlalu rumit.”
“Apa kau dipaksa untuk menandatangani kontrak berkencan dengan artis atau model?” tanya gadis itu lagi.
Niall mengernyit heran. “Bagaimana kau tahu?”
Valerine terbatuk canggung karena dirinya menyimpulkan hal tersebut berdasarkan konspirasi teori tentang One Direction yang sering ia baca. Konon, member-member band tersebut yang pernah mengencani beberapa wanita hanyalah pura-pura dan hanya salah satu dari kegiatan public relations stunt yang harus dijalani. Tidak mungkin Valerine menjelaskan yang sebenarnya pada Niall.
“Hanya menebak,” jawab Valerine dengan tersenyum kikuk.
“Tebakan yang hebat dan tepat. Aku muak harus menjalani kembali kencan kontrak tersebut. Aku ingin menjalani cinta yang sesungguhnya, yang ingin aku rasakan tanpa paksaan.”
Valerine tertegun. Ia merasa sedih mendengar pengakuan dari Niall. Terlebih lelaki itu kini menatap kosong setengah panekuk di piring yang belum ia habiskan.
“Aku mengerti. Semoga kau menemukan cintamu, Niall.”
Niall tersenyum mendengarnya. Ia merasa senang karena mendapat dukungan. Teman-temannya dalam band juga pasti mendukungnya jika ia bercerita. Namun, ia terlalu muak dan memutuskan untuk kabur meskipun hanya beberapa hari.
Sebuah ketukan di pintu membuat keduanya sedikit terkejut. Valerine mengernyit bingung karena tidak memiliki ide apapun mengenai siapa yang datang. Ia jarang sekali dikunjungi oleh siapapun.
“Sebentar, biar kubuka.”
Dirinya beranjak menuju pintu. Ketika membukanya, ia hampir saja menunjukkan reaksi terkejut namun untungnya ia bisa menahannya.
“Ah, kau Nona yang tadi malam. Bolehkah kami meminta kerja samamu? Kami sedang mencari orang, maka dari itu kami harus menggeledah unit-unit di apartemen ini. Nama saya Robert, saya dari kepolisian.”
Sial.
▪️ ▪️
Niall mendengar yang Robert ucapkan. Dirinya mengumpat beberapa kali karena benar-benar tidak habis pikir jika manajemennya sampai meminta kepolisian untuk mencari dirinya. Astaga. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Tidak ada gunanya untuk bersembunyi sekarang.
Lelaki itu memilih memasuki kamar mandi karena dirinya benar-benar bingung harus melakukan apa. Jika saja ada keajaiban, ia tidak ingin pulang sekarang. Ia masih butuh waktu untuk sendiri tanpa tetek-bengek karirnya.
Ia mengingat hal-hal yang menyenangkan untuk membuatnya tenang. Mulai dari pertama kali ia bisa memainkan gitar, ciuman pertamanya, makanan yang dimasak oleh Maura, ibunya. Juga senyuman Valerine yang kikuk. Tunggu. Apa? Senyuman Valerine? Kenapa ia malah memikirkan Valerine saat ini? Gadis yang bahkan belum 24 jam ia kenal.
Pikirannya buyar ketika ketukan di pintu kamar mandi membuatnya terlonjak kaget. Ia benar-benar mati kutu karena seperti dugaannya, polisi dan manajemen telah menemukannya. Tamat sudah riwayatnya.
Selamat datang kembali ke kehidupan penuh dramamu, Horan!
▪️ ▪️
A/n: kalau kalian readers lama, ayo baca ulang! cerita dan alur bakal beda banget, nih. hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
He Doesn't Know ║N.H
FanfictionNiall Horan is a superstar, everyone knows him, right? But he doesn't know that I am one of his fans. He doesn't know I love him, a lot.