First Meeting

23 5 0
                                    

Aku melambaikan tanganku pada Emily begitu turun dari mobilnya. Setelah semalam menginap di apartemenku ia ngotot untuk mengantarku ke kantor. Aku bahkan tidak sempat menolaknya karena ia menarikku masuk ke mobilnya begitu kami sampai di basement.

"Apa kau butuh tumpangan untuk pulang?" tanyanya lagi.

"Tidak perlu, aku bisa naik taksi." Emily mengangguk dan langsung melajukan mobilnya kembali di jalanan padat Manhattan.

Aku melangkahkan kakiku menuju tempat penyeberangan, karena Louis Vuitton Tower (LVMH) berada di seberang jalan dari tempatku berdiri. Beberapa pekerja kantoran dengan pakaian formal melewatiku begitu saja. Aku berjalan beriringan dengan para pekerja lain ketika lampu jalan berubah merah. Sebenarnya aku cukup bersemangat hari ini. Dress semi-formal bewarna kuning cerah dan blazer putih gading ini pasti membuatku terlihat mencolok diantara para pekerja lain.

Kurasakan handphoneku bergetar. Aku hendak mengambilnya sebelum seseorang menabrakku cukup keras, tidak, sebenarnya sangat keras karena aku merasakan bokongku menyentuh aspal saat ini. Aku memekik membuat beberapa pejalan kaki menatapku terkejut.

"Oh, sial!" umpatku keluar begitu saja, aku mendongak mencari-cari siapa orang gila yang berlarian di jalanan padat seperti ini. Bokongku rasanya sakit sekali. Aku mencoba untuk berdiri, tapi rupanya kesialan masih berpihak padaku karena yang kudapati adalah heels ku yang patah. Demi Tuhan, aku bahkan baru membelinya seminggu yang lalu bersama Felice. Aku melihat kaki ku yang sedikit lecet, untungnya tidak keseleo. Sebelum aku sempat memaki lagi, bau parfume mahal tercium hidungku, sampai seorang pria dengan setelan jas formal menarikku dari tengah jalan.

Setidaknya usahanya berhasil karena lampu jalan berubah hijau saat aku sampai di trotoar.

Aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkraman pria asing ini. Ia menarikku cukup kasar, hingga membuat pergelangan tanganku sakit. Aku yakin bahwa akan ada warna merah disana. Aku menyentakkan tanganku membuatnya menoleh terkejut kearahku.

"Apa yang kau lakukan?!" teriakku spontan. Aku memegangi pergelangan tanganku yang memerah seraya menatapnya bengis. Bukan tanpa alasan karena aku yakin pria ini yang menabrakku tadi. Kedua mataku menatap lurus pria asing ini. Masih kudengar deru nafasnya yang terengah-engah , seolah baru saja berlari. Beberapa orang yang sedang melintas melihat kami berdua dengan tatapan heran.

"Maaf, Miss. Aku sedang terburu-buru saat ini. Jika Anda-"

"Seharusnya kau lebih berhati-hati. Kau berhasil membuatku menjadi tontonan segar di pagi hari, Tuan. Dan karenamu, aku mematahkan heelsku!" teriakku lagi tanpa tedeng aling-aling. Aku yakin saat ini wajahku cukup seram untuk membuat anak balita menangis.
Pria di depanku ini hanya menatapku datar dengan kening berkerut. Rambut hitam gelapnya tersisir rapi, walaupun beberapa helainya tampak berantakan.

Kemudian Ia menghela nafas kesal seraya memejamkan matanya. Aku yakin ia sedang menahan amarahnya untuk menghadapi gadis bar-bar sepertiku. Oh, aku tidak peduli.

"Dengar, Miss. Aku tidak sengaja. Aku sungguh minta maaf dan aku akan mengganti heels mu itu." Ujarnya dengan desisan tajam. Apa aku sudah mengatakan kalau pria di depanku ini sangat tampan? Suaranya yang dalam berhasil membuaku membeku sesaat, ditambah dengan tatapan intimidasinya.

Aku mati-matian bersikap tenang, dan apa yang ia katakan tadi? "Kau berniat mengganti heels ku? Lupakan! Aku sudah-"

"Aku benci berhutang. Mana handphonemu?" aku juga benci ketika ada seseorang yang menyela ucapanku, dan pria ini melakukannya.

"Untuk apa?"
Ia menarik tas tanganku secara tiba-tiba membuatku memekik lagi.

"Apa yang kau lakukan?! Apa kau akan merampokku setelah berhasil menabrakku?!" Aku semakin panik saat ia berhasil menggeledah tasku dan menemukan handphoneku. Senyum miring langsung terpasang di wajahnya yang tampan. Aku makin panik. Menoleh kanan-kiri berharap ada seseorang yang menghentikan aksi pria gila ini.

Love Me RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang