"Kalian berdua kenapa sih? Semalam gw telepon Lily nggak di angkat-angkat, telepon ke lw sama aja. Tadi pagi gw ke rumah lw, tumben-tumbennya lw udah berangkat. Tadi gw juga mampir ke rumah Lily, kata mamanya Lily nggak mau keluar. Kalian berdua jangan bikin gw cemas deh, kalian berdua bertengkar?" Vita menemui Hendra dikelasnya.
"Biasalah Lily ngambek, tadi gw ada ujian di jam pertama jadi gw harus berangkatpagi-pagi. Sorry gw ninggalin lw, Vit."
"Tumben-tumbennya kalian berdua kaya gini, ada masalah apa sih? Cerita sama gw-lah, Ndra." Bujuk Vita.
"Bukan apa-apa kok, Vit. Gw ke perpus dulu ya? Ada tugas yang mau gw cari, oh iya nanti gw nggak bisa antar lw pulang karena gw ada janji sama teman." Hendra bangkit dari duduknya dan meninggalkan Vita dengan penuh tanda tanya.
Vita tahu ada yang salah dengan kedua sahabatnya itu. Mereka berdua tidak biasa bersikap seperti ini. Apakah mereka bertengkar hebat sampai Hendra dan Lily harus menghindari Vita. Mengapa harus menghindar dari dirinya? Vita jelas-jelas tidak tahu masalah mereka berdua. Vita harus pergi ke rumah Lily lagi nanti sepulang kuliah, hanya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.
***
Lily tetap bersikukuh untuk tidak membukakan pintu kamarnya, Lily kesal mengapa Vita malah bertanya padanya? Mengapa bukan dengan Hendra, sahabat baiknya sejak kecil. Mengapa Hendra tidak memberitahu pada Vita kalau dirinya dan Hendra sudah putus dan itu semua karena Vita.
"Lily mungkin masih ingin sendiri, Vit." Alvent yang tidak tega melihat Vita duduk di depan pintu kamar Lily. Alvent menuntun Vita untuk berdiri, mata Vita terlihat berkaca-kaca. "Biarin Lily tenang dulu, Vit. Kalau Lily sudah tenang baru kamu bisa ajak dia bicara." Alvent mengusap punggung Vita, mencoba untuk menenangkannya.
Vita mengangguk pasrah, hampir dua jam Vita menunggu Lily di depan kamarnya tapi Lily tidak mau membukakan pintu kamarnya untuk Vita. Vita benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Lily dengan Hendra, Hendra dan sama-sama menghindar dari Vita.
Alvent menuntun Vita menuruni tangga. "Kamu pasti belum makan siang kan? Kebetulan kalau begitu, temani aku makan siang bagaimana?"
Vita hanya menjawabnya dengan senyum. Beruntung sekali Lily mempunyai Kakak yang begitu baik seperti Alvent. Sorot wajah Alvent begitu meneduhkan, selalu membuat Vita merasa nyaman saat berada di sampingnya.
Alvent mempersilahkan Vita untuk duduk. Alvent yang menyiapkan piring untuk Vita dan Alvent juga yang mengambilkan nasi ke piring Vita. "Sudah jangan terlalu kamu pikirkan, Vit tentang Lily. Kamu makan dulu yang banyak baru kita berdua pikirkan lagi bagaimana caranya agar Lily keluar dari kamar."
"Makasih, Ko."
Alvent mengangguk kecil. Alvent duduk di depan Vita, ia juga mengambil nasi sama banyaknya dengan yang dia ambilkan untuk Vita. "Aku suka melihat wanita yang makannya banyak seperti kamu, tidak seperti Mamaku dan Lily yang suka membatasi makannya."
Vita agak sedikit kaget dengan perkataan Alvent, ia menghentikan makannya. "Apa aku terlihat rakus , Ko?" Vita memang sedang lapar karena dari tadi pagi Vita belum sempat sarapan.
"Lanjutkan makanmu, aku hanya bercanda."
Vita melanjutkan lagi makannya, sebenarnya Vita senang karena ia bisa bercengkrama dengan Alvent seperti ini. Jarang-jarang Alvent berada di rumah sekalipun hari weekend, Alvent memang selalu sibuk dengan pekerjaannya. "Koko lagi nggak kerja atau gimana?"
"Tadi kebetulan agak nggak enak badan makanya aku pulang cepat."
"Koko sudah berobat?"
"Cuma migran aja kok, istirahat sebentar juga sudah baikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
ChickLitSeharusnya Lily tidak perlu secemburu ini pada Vita, Vita tidak mungkin mengkhianati sahabatnya sendiri tapi setiap melihat Vita dan Hendra yang lebih sering bersama membuat hati Lily jadi sedikit panas. Seharusnya Hendra yang mengantar jemput Lily...