Pagi ini dimulai dengan kicauan burung-burung. Aktifitas manusia belum terlalu ramai. Tapi aku harus memulai semua tugasku sekarang.
"Ve! Ambilkan baju seragam Wina! Jangan lelet!" Seruan ini selalu menjadi bel bahwa aku sudah harus mulai hariku.
"Ini,"
"Apa ini? Seragam jelek seperti ini mau kau beri kan sama anakku? Kau pikir anakku mau memakai baju seperti ini?!""Tapi ini kan sera-"
"Berikan seragammu pada Wina! Kau saja yang memakai seragam itu!"
Dengan berat hati, aku memberikan seragamku pada Wina. Seyuman liciknya menjadi tanda kemenangannya. Tetapi tidak apa-apa, aku masih bisa meminta seragam yang baru pada Papa.
"Selamat pagi Pa," ujarku dan Wina bersamaan.
"Pagi Wina, putri Papa yang paling cantik!" Balas Papaku sambil mencium kedua pipi Wina.
Aku hanya bisa tersenyum dan lekas meninggalkan Papa beserta "Putri kesayangannya" itu. Papa tidak mengejarku. Padahal aku sangat berharap Papa mau membalas semua sapaanku.
Tidak ada mobil, tidak ada uang jajan. Hidup mewah tetapi serasa menjadi pembantu. Aku berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya cukup jauh. Tidak apa-apa, ini tidak semenyakitkan melihat Papa tertawa bersama Wina.
"Pagi Ve,"
"Pagi Re,"
"Heh! Kenapa kau yang membalas sapaanku? Aku menyapa Vellcia! Bukan kau, Veria si anak culun!"
Aku membalas ucapannya dengan senyuman semanis mungkin. Kembali berjalan dan duduk di kursi. Juga menikmati hinaan yang dilontarkan untukku. Aku membalas semuanya itu dengan senyuman. Aku tahu mereka melakukan hal itu karena pikiran mereka belum dewasa dengan umur mereka. Kalau kusarankan, mereka seharusnya kembali ke Sekolah Dasar.
"Ve?"
"Yes, Miss?"
"Tolong bawakan buku-buku ini ke kantor, sekarang!"
"Baik Miss,"
Tangan kecilku menggendong buku-buku tebal milik Miss. Priska. Menyenangkan sekali bisa membantu orang lain. Beban berat buku ini tidak seberat beban hidupku. Jadi, jangan heran kalau aku bisa membawanya dengan mudah.
BRRUUUKKK!!!
"Aw,"
"Ma..maaf kan aku," desisku pelan sambil memunguti satu per satu buku-buku Miss. Priska. Aku harap, tidak ada yang rusak.
"Kalau jalan itu, lihat-lihat!"
"Kalau mata saya sudah buta karena sering menangis gimana?"
"Eh, kalau dinasehati, itu didengerin, bukan dijawab begitu!"
"Jika kenyataannya seperti itu?" Aku sudah bangkit dari posisiku juga tumpukan buku di tanganku.
"Terserah!" Mungkin dia kesal dengan sikapku. Aku sudah terlalu capek untuk meladeni orang tidak penting sepertinya.
Buku-buku itu sampai ke kantor dengan selamat. Tanpa ada lecet sedikit pun. Aku berharap, Papa juga mau menjagaku seperti buku-buku ini. Menjaga agar tidak terlipat dan terkoyak. Tapi kenyataannya? Jawabanku hanya senyumanku.
Bel tanda istirahat pun berbunyi. Sekarang waktunya untuk memberi makan cacing-cacing yang sudah berdemo dari tadi pagi. Aku berjalan ke kelas dan kembali duduk di tempatku. Aku membuka kotak bekalku dan hanya beberapa makanan sisa semalam yang kudapatkan. Mungkin bagi kalian ini tidak layak, tetapi hanya ini yang dapat kumakan.
Apa kalian merasa kasihan padaku? Oh, tidak perlu! Aku sudah terbiasa memikul beban yang berat. Aku juga sering menghadapi masalahku sendiri. Dan aku juga lupa mengenalkan diriku pada kalian semua. Saking mirisnya hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Smile
Romance"Bolehkah aku bahagia? kapan aku bisa tersenyum tanpa beban? aku tahu bahwa setiap manusia memiliki masalah, tetapi bolehkah aku mendapat setitik cahaya kebahagian? aku juga manusia! aku juga mau bahagia!" -Ve "Terimakasih sudah melukiskan senyum di...