Bab-3

850 46 3
                                    

"Veria! Cepat bangun!"

"Iya Ma,"

Dengan berat hati, aku meninggalkan ranjangku yang memiliki gaya gravitasi yang sangat kuat. Selamat tinggal ranjang kesayanganku, aku akan menemuimu lagi.

Aku meniti tangga dengan hati-hati, tidak mau kejadian kemarin terjadi lagi. Aku terpeleset dan jatuh sampai terkilir.

"Ada apa Ma?"

"Masih nanya lagi! Mana sara-"

"Pagi semua!"

"Eh, Papa, selamat pagi!" Ini cukup menggelikan. Tiba-tiba Mama tiriku memperlembut nada suaranya menyapa Papa.

Terimakasih Pa, sekali lagi engkau sudah menyelamatkanku dari Mama. Ingin sekali aku memelukmu, menceritakan semua yang sudah terjadi denganku, dan aku ingin kau menjadi pendengar semua keluh kesahku.

"Papa, Ve minta seragam baru,"

"Seragam kamu yang lama mana?" Wajahnya menjadi dingin dan menatapku tajam.

"Eh, itu... dipakai Wina," langsung saja sorotan tajam tertuju ke arahku.

"Jangan sembarangan ngomong ya! Ini seragamku! Kamu saja yang merusak bajumu sendiri!"

"Ve, kalau kamu mau seragam baru, minta sama Papa, tapi tidak perlu sampai memfitnah Wina! Pernah ya, Papa ajarin kamu memfitnah orang? Sebenarnya mau kamu apa?!" Papaku membentakku lagi. Pa, pikiranmu sudah diracuni kedua wanita itu.

Aku menjawab sambil tersenyum, "Maaf Pa, Ve sadar kalau anak Papa itu cuma Wina. Maaf menyusahkan Anda Om, Tante, dan juga Nona Wina," aku sudah malas melihat muka mereka. Aku berlari meninggalkan rumah mewah yang menjadi penjaraku.

Sekarang aku harus kemana? Entahlah, aku terus berlari menuju suatu tempat yang menjadi tempat terakhirku bisa mengadu.

"Mama... kenapa Mama meninggalkan Ve secepat ini?" Badanku bergetar hebat. Kurasa ada setitik air mata di sudut mataku.

"Ma, Ve sudah tidak tahan lagi Ma, Papa lebih sayang sama istrinya dan Wina,"

"Ve juga sudah lelah dengan semua penyiksaan ini. Ve mau nyusul Mama,"

"Ve!"

Suara seseorang yang sangat dikenali Ve. Kak Kevin! Mau apa dia ke sini? Bukankah seharus nya dia mengajar? Batin Ve.

"Ve!"

"Apa?"

"Kamu nggak sekolah?"

"Sekarang aku tanya, Kakak gak ngajar?"

"Itu urusan belakangan, ngapain kamu ke sini?"

"Jangan karena satu orang, semua kena impasnya dong,"

"Kalau satu orang itu orang terpenting di hidupku, bagaimana? Aku memilih kehilangan pekerjaanku daripada kehilangannya,"

Ah! Pipiku pasti merah merona.

"Eh, kenapa itu pipinya? Kok merah-merah ya?" Ternyata Kak kevin sedang menggodaku rupanya.

"Tidak! Itu karena aku makan cabai terlalu banyak, jadi kepedasan!"

"Oh, begitu, bukan karena blushing ya?"

Aku memutar mataku sebal, "Terserah."

Aku tak tahu, mengapa setiap di dekat Kak kevin, hstiku terasa sangat hangat dan tentram. Seakan ada damai yang hendak menjemputku. Ingin kupeluk, ingin kuraih. Namun tanganku tak sampai untuk menggapai.

"Ayo,"

"Kemana?"

"Ke KUA!"

"Heh! Ngapain ke sana?"

"Mau nikah,"

"Ciee... selamat ya Pak! Semoga cepat dapat momongan,"

"Arrgghh!! Ke sekolahlah! Kemana lagi?"

Aku hanya terkekeh melihat tingkahnaya seperti anak-anak ini. Setidaknya aku memiliki teman untuk diajak bercanda. Kami pun pergi dari makam ini dan melesat menuju sekilah tercinta. Neraka keduaku.

Jam berputas sangat lambat. Bahkan jika diadu dengan siput, maka siput itu akan menjadi pemenangnya. Pikiranku tidak fokus. Mataku fokus melihat wajah Mr. Kevin. Melamun.

"Ekhem! Ve, tolong jelaskan apa yang sudah saya katakan tadi,"

Aku tidak dapat menjawab. Hanya tersenyum malu dan menundukkan wajahku. Setidaknya, mereka tidak melihat mukaku yang penuh rasa malu.

***

Segini dululah. Capek.

Love,
Renata Angel

Fake SmileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang