#5: Kitty

671 110 19
                                    

"Kitty?" gadis itu memanggil. "Di mana kamu Kitty?"

Meongan seekor kucing hitam dengan bulu-bulu yang bergetar menuntun gadis itu menuju belakang kulkas. "Kitty," panggil gadis itu lagi. Kitty mengeong sekali lagi, menjawab suara yang familier. "Sini, Kitty, sini."

Gadis itu berlutut di belakang lemari, melihat si kucing yang tampak ketakutan. "Ck, ck, ck. Sini, Sayang." Dia mengulurkan tangan. Sejenak Kitty ragu-ragu, tetapi akhirnya kucing itu berjalan ke arah si gadis. "Ya ampun Kitty, kamu ngapain?"

Kitty hanya mengeong pelan dalam pelukan gadis itu. "Shh," si gadis berusaha menenangkan kucing mungil yang ketakutan. "Shh, Kitty, shh."

Kedua telinga Kitty rapat ke belakang dan ekor sikat botolnya menjuntai lemas. Si gadis menepis debu yang menempel pada bulu Kitty. "Kamu harus disisir, Kitty. Kenapa kamu sembunyi di belakang lemari?"

Sambil bertanya-tanya gadis itu berlalu.


"Kitty!" Ibu si gadis marah-marah. "KITTY!"

Anak gadisnya berjalan menghampiri sang ibu, merasa agak terganggu karena waktu bermain video gimnya terpotong. "Kenapa, Bu?"

"Ikan hilang!" tunjuk ibunya pada piring yang kini kosong di meja. "Kamu tahu ke mana?"

"Enggak." Kitty mengerutkan kening menatap piring. "Ibu enggak makan?"

"Ya, belum." Ibunya mengempaskan pantat duduk di kursi. "Terakhir kali Ibu makan ya sama kamu semalam. Sisa tiga, eh tahu-tahu sekarang hilang semua!"

"Aku 'gak tahu, Bu," jawab anaknya jujur.

"Mungkin Kitty yang satu lagi," ujar ibunya. "Kitty Meong."

"Ah, enggak, ah," bela Kitty. "Kan mejanya ditutup tudung saji. Kitty masih sekecil begitu mana bisa buka tudung saji. Lagian, Kitty rada-rada bego."

"Kamu tuh ya." Ibu Kitty menahan senyum. "Kucing sendiri kok dibego-begoin."

"Biarin, wlee." Kitty menjulurkan lidah. Lalu, dia kembali mengerutkan kening melihat meja makan yang kini kosong kecuali piring bekas ikan yang hilang entah ke mana. Kitty menghela napas. "Ibu harus makan ikan, ya?"

Ibunya mengangguk pasrah. Sabtu adalah hari ikan untuknya. Itu hanya satu "keunikan" kecil dari penyakit mental bawaan perempuan itu. Selain makanan wajib mingguan, ada juga ritual-ritual seperti lompati anak tangga keempat, matikan lampu sebelas kali, dan ritual-ritual berulang lainnya.

Dulu ada masa ketika Ibu Kitty melakukan konsultasi dan terapi dengan psikiater profesional. Namun, dengan hilangnya Ayah Kitty yang bekerja sebagai pengacara bagi klien-klien yang kaya, hilang pula kemampuan mereka membayar biaya terapi yang luar biasa mahal.

Dengan minimnya pengetahuan orang awam terhadap penyakit mental dan menghilangnya ayah Kitty beberapa tahun lalu tanpa petunjuk, beberapa tetangga mengira mereka terkutuk.

"Ya, sudah." Kitty melepas earset dari telinga dan menggulung kabelnya, menyakukan benda itu bersama ponsel di saku jin pendek. "Aku beli ikan ke warung dulu, deh. Ibu ditinggal sendiri sebentar enggak apa-apa?"

Ibunya mendelik. "Cuma sebentar saja sih 'gak apa-apa."

"Oke, oke, jangan marah." Sebagai tanda gencatan senjata Kitty mencium pelipis ibunya. "Usahakan jangan panik ya Bu, aku cuma ke warung sebentar."

Kitty mengambil rangkaian kuncinya dari gantungan kunci di dinding. "Ada permintaan khusus 'gak?" tanyanya sambil lalu.

"Apa saja yang penting ikan," jawab ibunya. Perempuan itu masih bingung dengan lenyapnya ikan-ikan mereka, sebagian otaknya yang memang sudah kacau berpikir apa mungkin ikan-ikan itu hidup kembali dan mengesot ke kali atau sungai terdekat. "Jangan lupa kunci—!"

[ID] This Is Helloween | Antologi [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang