Siang ini matahari menyinari Jakarta dengan sangat terik. Dikarenakan conference call yang akan dilakukan pukul 1:30 siang waktu Singapura, yang artinya itu adalah pukul 12:30 waktu Jakarta, maka Satrya memutuskan untuk membeli makan di warteg belakang dan memakannya di pantry. Ia pun terkejut ketika membuka pintu pantry, karena disanalah Athaya dengan Mas Harris sedang makan siang.
"Iya, Mas, 3D touch-nya iPhone yang baru kayaknya cool sih. Tapi harganya... Haduh... Bisa kirim berapa banyak bantuan buat korban asap di Sumatera!" Cerita Athaya pada Mas Harris ketika Satrya membuka pintu pantry. Satrya duduk di meja sebelah meja Athaya dan Mas Harris. Dilihatnya Athaya makan dari tempat makan rumahan. Sepertinya hari ini ia bawa bekal.
"Iya, Ta, kapan sih masuk Indonesia? Lama banget... Lama-lama gue titip sama si Richard orang Singapore office deh!" Ujar Mas Harris.
"Duh, lama. Akhir tahun kali yah. Tapi dollar Singapore sekarang hampir 10 ribu tau, Mas. Gile deh."
"Iya sih, tapi kebelet banget gue pengen."
Satrya sedang makan siang ditemani obrolan hangat seputar gadget antara Athaya dan Mas Harris.
Jegrek. Pintu pantry terbuka lagi.
Ghilman.
Lah itu anak nggak makan di belakang? Batin Satrya. Ghilman menghangatkan makanannya di microwave. Tiba-tiba suara Athaya yang semangat cerita hilang. Mas Harris juga. Mungkin obrolan mereka sudah habis. Setelah selesai memanaskan makanannya di microwave, Ghilman duduk di meja Satrya, berhadap-hadapan dengan Satrya, bersebelahan dengan Athaya.
"Lah lo kayaknya tadi turun deh?" Tanya Satrya pada Ghilman.
"Iya, tadi ngambil bekal doang. Dibawain sama cewek gue," jawabnya mengaduk-aduk nasi goreng yang sudah ditaburi boncabe.
"Deuu... Mesra banget. Cewek lo kerja di sekitaran sini?"
"Nggak, di daerah Sarinah dia, di radio."
Satrya mengangguk mengerti. Kemudian Athaya bangkit dan menaruh kotak makannya di tempat cucian kotor, minta tolong office boy kantor untuk mencucinya.
"Duluan ya, semuanya!" Pamitnya pada semua orang di pantry.
***
Beberapa hari setelah itu, seperti biasa Athaya akan sarapan kemudian menyeduh kopinya di pantry. Ketika sedang menunggu air panasnya mendidih, terdengar suara langkah seseorang yang masuk ke dalam pantry.
"Pagi, Ta!" Sapa suara berat seseorang. Cowok itu mengambil gelas dari lemari penyimpanan.
"Pagi, Man!" Balas Athaya datar. Padahal jantungnya sudah kelojotan tidak karuan karena terkejut mendengar suara Ghilman pagi-pagi sekali.
"Tumben pagi amat?" Tanya Athaya sembari menuangkan air panas ke gelasnya.
"Iya, nganterin adek gue dulu tadi," gantian Ghilman yang menuangkan air panas sisa Athaya ke gelas kopinya.
Lalu hening...
Jegrek. Pintu pantry terbuka lagi.
***
Jam 8 lebih dikit, Satrya sudah hafal jadwal sarapan Athaya. Dengan semangat cowok itu berniat menyeduh kopi ke pantry. Dan ketika ia membuka pintu, dilihatnya Athaya disana, dengan Ghilman, dalam keheningan. Mereka sama-sama mengaduk kopinya. Awkward.
"Pagi, Ta, Man!" Sapa Satrya.
"Pagi," jawab mereka serentak. Jiah, makin awkward.
"Duluan, ya, semuanya!" Seru Athaya yang kemudian keluar duluan dari pantry.
"Kalah lagi Arsenal, Sat, semalem," ujar Ghilman sembari menyeruput kopinya.
"Iya, auk ah."
"Wahahahah! Taruhan lah kita."
"Ogah, kalo menang sih asik. Lah kalo kalah? Mending duitnya buat bayar parkir seharian."
Ghilman tertawa lagi.
"Duluan, bro!" Kemudian ia berpamitan sambil menepuk bahu Satrya.
Beberapa kali Satrya perhatikan kalau sedang main-main ke area east wing, seperti habis meeting atau kalau-kalau perlu berkomunikasi dengan orang-orang system development, Athaya sering kali memilih jalan yang tidak dekat dengan meja Ghilman. Misal: kalau cewek itu ingin ke toilet atau ke meja Lasha atau habis dari ruang meeting. Padahal melewati meja Ghilman itu shortcut banget. Aneh.
Yang paling aneh sih kalo setiap sholat. Musholla kantor posisinya ada di south wing, karena dekat dengan toilet yang ada tempat ada tempat wudhunya. Beberapa kali Satrya berpapasan dengan Athaya pas mau sholat, cewek itu akan melongok terlebih dahulu, dan kalau ada Ghilman di dalam sedang sholat, ia akan melengos, mampir ke meja Kia atau Caca dulu. Dan itu udah kejadian beberapa kali sampai hal tersebut menempel di otak Satrya. Seringnya kejadian pas sholat dzuhur, karena Satrya seringnya sholat dzuhur bareng teman-temannya sekalian balik dari makan siang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secangkir Kopi & Pencakar Langit (#1)
ChickLitCHAPTER 7 - END TELAH DIHAPUS KARENA AKAN SEGERA DITERBITKAN *** "Enak lho, Ta, kalo kita kerja sesuai sama yang kita senengin. Orang suka salah persepsi dengan gimmick kerja sesuai passion, padahal kadang passion nggak harus hobi kan. Bisa aja pass...