Maaf - Daniel Rahardian

611 14 2
                                    

Kenapa aku bisa mengatakan kata-kata menyakitkan seperti itu kepadanya. Kenapa aku tidak mempercayainya. Kenapa hatiku sakit ketika melihat kekecewaan dimatanya.

Semua pertanyaan itu terus berputar dipikiranku. Penyesalan karena sudah membentak dan tidak mempercayainya selalu menghantui ku. Aku tidak bermaksud membentaknya. Tapi kenapa kata-kata itu yang keluar. Aku tau Kiara tidak mungkin melakukan itu kalau tidak ada yang memulainya.

"Kiara, maafkan kakak dek"

******
Kiara sepertinya mulai menjauhiku. Aku tau itu. Bahkan dia tidak mau menatap mataku ketika bicara. Tidak seperti biasanya. Mungkin kesalahanku ini cukup fatal sehingga membuatnya sulit memaafkanku.

"Kiara" kupanggil dirinya ketika tanpa sengaja dia melewatiku. Dia berhenti tanpa mau menatapku.

"Maaf" akhirnya kata itu keluar. Kata-kata yang sangat ingin aku ucapkan kepadanya.

"Kia udah maafin kakak, Kia pergi dulu ada kelas" Kiara berjalan menjauhiku tanpa mau menatapku. Sepertinya dia belum bisa memaafkanku. Walaupun dia bilang sudah memaafkanku tapi aku tau bahwa hatinya belum bisa memaafkanku.

"Loe kenapa bro?" Kulihat Adit duduk disebelahku. Sejak kapan dia disini. Bukankah tadi aku duduk sendirian. Entahlah. Diakan memang sukanya datang tiba-tiba.

"Gue ngga papa"

"Loe pasti mikirin perubahan Kiara" Adit memang selalu tau semua tentang ku dan Kiara. Selain sahabatku Adit justru lebih dekat dengan Kiara. karena dia sangat menginginkan punya adik perempuan.

"Kiara sakit bro" kulihat wajah tenangnya. Sakit apa? Bukannya tadi dia baik-baik saja.

"Dan" panggilnya ketika aku ingin berdiri dan menemui Kiara. Aku diam ingin tau kelanjutan ucapannya.

"Kiara sakit hati, Kiara sakit karena loe lebih percaya orang lain daripada adik loe sendiri. Adik yang sudah hidup bersama loe sejak lahir. Seharusnya loe lebih percaya dia, loe yang tau dia lebih dari orang lain bahkan orang tua loe sendiri. Tapi loe masih meragukannya. Dia sungguh kecewa sama loe" aku terdiam mendengar perkataannya. Dia benar, hanya aku yang tau Kiara melebihi siapapu. Bahkan orang tua ku sendiri. Tapi kenapa aku masih terus menyakitinya.

****
Aku terus merenungi perkataan Adit ketika dikampus tadi. Perkataannya begitu membekas dihatiku.

"Apa yang harus aku lakukan?" Aku harus bisa mendapatkan kepercayaannya lagi. Harus.

Hari ini aku menyiapkan makan malam ku dan Kiara. Mama sama papa bahkan belum pulang dari rumah eyang. Untung saja aku bisa masak walaupun ngga sehebat mama. Jadinya ngga perlu susah cari-cari makanan.

Aku memasak nasi goreng dan telur mata sapi karena hanya ada itu yang bisa dimasak. Kutata rapi meja makan dan kusiapkan nasi goreng yang sudah kumasak. Setelah ini aku panggil Kiara. Sudah waktunya makan malam dan dia belum keluar dari tadi semenjak pulang kuliah.

"Kiara" kuketuk pintu kamarnya pelan.

"Kiara" panggilku lagi ketika tidak ada jawaban dari dalam. Setelah kuketuk beberapa kali, akhirnya kuputuskan untuk masuk saja.

Ceklekk...

Kubuka pelan pintu kamarnya dan melihat dia bergelung dalam selimut. Tumben Kiara tidak bangun, biasanya dia langsung terbangun ketika mendengar suara sedikit saja.

"Kiara" panggilku dan dia belum bangun juga. Kupegang tangannya dan kurasakan panas.

"Kiara" panggilku lagi dan kusentuh dahinya. Telapak tanganku terasa sangat panas.

"Kiara" aku terus memanggilnya dan perasaan panik langsung memenuhi diriku. Dari kecil aku tidak pernah bisa melihatnya sakit dan selalu merasa panik.

Kuangkat tubuhnya dan dengan panik kubawa dia kerumah sakit. Aku melajukan mobilku dengan sangat kencang supaya bisa cepat sampai.

"Kiara bangun sayang" aku terus menerus memanggilnya supaya dia bangun. Kiara tidak boleh sakit. Kiara harus sembuh. Kalau boleh biar aku saja yang sakit jangan Kiara.

Kuparkirkan monilku dengan sembarangan dan langsung membawanya masuk.

"Dokter" teriakku seperti orang gila. Aku begitu panik ketika melihat wajah pucatnya.

Tak berapa lama dokter dan perawat datang dengan ranjang dorongnya. Kuletakkan Kiara diaras ranjan itu dan langsung dibawa keruangan untuk diperiksa. Selama Kia diperiksa aku tidak bisa diam dan terus berdoa semoga tidak terjadi apa-apa dengannya.

"Ya Tuhan, sembuhkan Kia. Aku mohon" mataku mulai berkaca-kaca ketika mengingat Kia sakit karena ku. Aku yakin dia seperti ini karena ku.

Ceklek

Kihampiri dokter yang keluar dari ruangan Kia.

"Bagaimana dok?"

"Kia tidak apa-apa. Dia hanya demam biasa dan kurang istirahat. Magh dia juga kambuh. Sepertinya dia kurang asupan makanan akhir-akhir ini. Jadi perhatikan pola makannya"

"Baik dok, terima kasih" aku merasa lega bahwa Kia tidak apa-apa. Aku tersenyum dan masuk keruangannya. Kugenggam tangannya dan mataku mulai berair siap untuk kutumpahkan.

"Maaf Kia, maaf. Kaka udah bikin kamu kayak gini. Maafin kakak dek. Kakak mohon" air mataku mulai turun. Penyesalan karena terus menyakitinya. Bahkan aku saja tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Cinta tulus Kia yang selalu aku balas dengan air mata dan kekecewaan. Begitu banyak rasa sakit yang aku berikan padanya lewat perkataanku. Kata maaf mungkin tidak akan pernah cukup untuk menebus kesalahanku.

Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang