Butiran-butiran putih dengan bentuk indah yang berbeda di setiap kepingnya itu bagaikan tertumpah dari lembaran langit di atasnya. Berjarak, namun tak kunjung berhenti. Menghias, sekaligus menutupi apa pun yang harus siap menerima kedatangannya.
Menyebabkan udara dingin berhembus, menusuk lapisan kulitnya bahkan sampai ke tulang-tulangnya. Jalan tempat di mana dia berdiri, hampir sepenuhnya tertutup salju dengan tebal berinci-inci. Sinar matahari saja tak mampu memberikan bantuan untuk melebur mereka.
Ini hari ketiga musim dingin di desanya. Hari ketiga pula di mana dirinya menjadi seorang penjual korek api jalanan.
Ya, dia harus bisa menjual korek api-korek api itu, karena kalau tidak dengan cara begitu, dia tidak akan makan.
"Apa Anda mau membeli korek api ini, Tuan?"
"Tidak, Nak. Terima kasih. Aku tak membutuhkannya."
"Apa Anda mau membeli korek api, Nyonya?"
"Lain kali saja, ya."
Setiap kali ada orang yang ditanyainya, selalu saja jawabnya seperti itu. Selalu menolak, menghindar, atau terkadang pura-pura tak mendengar.
Menganggapnya yang sedang mencari uang untuk membeli sepotong roti ini adalah sampah masyarakat yang tak perlu ditanggapi.
Dinginnya cuaca ini membuat tubuhnya mati rasa. Kedua kakinya benar-benar sudah pegal berdiri seharian. Jari-jari tangannya sudah kaku menggenggam pinggiran kardus kasar tempat korek apinya tersusun.
Tapi belum ada satu pun dari antara mereka yang laku terjual.
Mungkin, penduduk desanya pada zaman sekarang ini sudah berkembang menuju masyarakat yang lebih maju. Mungkin, mereka tak lagi membutuhkan korek api yang dijajakannya. Mungkin, walau cuaca sudah sedingin ini pun, mereka bisa menghangatkan dan membuat diri mereka nyaman hanya dengan menekan tombol mesin pemanas ruangan yang sudah tersedia di rumah mereka masing-masing.
Mungkin, memang hanya dirinyalah orang bodoh yang masih berdagang korek api seperti ini. Mungkin, memang hanya dirinyalah yang tak akan bisa merasakan hal seperti itu.
Tukak lambungnya terasa makin perih karena tidak ada yang bisa dan harus digiling. Tenaganya semakin melemah. Badannya terasa mengilu. Dia tak sanggup lagi bertahan lebih lama.
Akhirnya, dengan berat hati dia menepi. Berjalan terseok-seok ke pinggir jalan, duduk di bawah sebuah pohon besar yang akar, batang, dahan, ranting, juga daunnya terselimut kristal-kristal es.
Arka merapatkan jaket tipis yang dia kenakan. Menggosok-gosokkan telapak tangannya, lalu menempelkannya ke wajah. Mencegah hembusan tajam itu semakin menggerogoti bagian dalam tubuhnya.
Diambilnya selembar kain pudar yang menutupi tumpukan korek api, lalu digelarnya untuk menjadi alas duduknya. Setidaknya mencegah kebekuan kulitnya dengan menambah penghalang selain celana panjang yang dia pakai dari bersentuhan langsung dengan es yang begitu dingin ini.
Kedua selaput biru Arka tertuju pada jalanan di mana dia berdiri tadi yang sekarang berada tepat di depannya.
Tak banyak lagi kendaraan atau orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Semua pasti sedang mengejar waktu untuk bisa kembali secepatnya ke rumah.
Remaja berambut kambium itu menghela napas panjang.
Dia juga sebenarnya sangat ingin pulang ke rumah. Walaupun jauh dari kondisi layak, tempat itu pasti lebih nyaman dari tempat dia berada kini.
Hanya saja, Arka takut. Dia sangat takut pada ayahnya yang pasti akan memaki dan menghajarnya apabila dia berani menampakkan diri di rumah tanpa membawa hasil, seperti hari-hari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phantasm
RomancePada segala garis dan suratan yang seakan tak pernah berkehendak untuk menorehkan kebahagiaan kembali dalam hidupku, kukatakan bahwa telah kutemukan dia sekali lagi ... di tengah kepergian manusia brengsek itu, di sela tarian api itu, di dalam dekap...