Saat saraf krause yang ada di jari-jari tangannya mengirimkan sinyal karena mereka refleks mencengkeram erat segenggam serbuk dari tanah yang dinginnya mampu membuat dia terbangun dari tidur sebagai pelampiasan atas ketakutannya, saat itulah dia sadar bahwa dirinya hanya sedang bermimpi.
Baguslah. Sangat bagus.
Walaupun alam fana sempat mengingatkannya tentang memori menyedihkannya dua tahun lalu, tapi lebih lega rasanya mengetahui rasa sakit itu tak akan terulang untuk yang kedua kalinya.
Kelopak matanya bisa tertarik dengan bebas. Iris lautnya tak perlu berlama-lama menyesuaikan diri lazimnya dilakukan oleh orang yang baru tersadar, karena tak ada lagi tanda-tanda cahaya, atau sinar, atau terang, atau kehadiran, atau kehidupan dari siapa pun.
Sunyi sepi. Hanya ada udara yang kedengaran bertiup di sekitarnya. Dia sangat yakin hanya ada dirinyalah di tempat itu untuk sekarang ini.
Arka menegakkan posisi duduknya dengan masih menyandarkan punggung ke pohon topangannya.
Sekali lagi mengerjap.
Pukul berapa sekarang? Sudah berapa lama aku tertidur?
Hawa dingin yang menerpa terasa semakin memilukan. Semakin membuatnya gemetar. Semakin membuatnya kedinginan.
Pertanyaan tersiratnya terjawab.
Dia memang tidak memakai arloji, atau tidak ada jam-jam kelihatan yang bisa menunjukkan waktu padanya.
Tapi suhu yang semakin menurun beberapa, atau banyak dalam jumlah derajat di wilayah itu memberikan kejelasan kalau hari akan dan sudah menjelang pagi.
Anak itu memeluk kedua bahunya sendiri erat-erat.
Kalau begini terus, aku akan mati beku.
Lalu di saat itulah, kedua mata biru perairan dalamnya melihat kardus yang teronggok di sisi kiri tubuhnya.
Bukan, bukan kardus itu sebenarnya yang menarik perhatiannya. Tapi isi dalam bangun ruang cokelat yang sudah lusuh itu. Kotak-kotak korek api jualannya.
Arka tahu, sangat tahu, kalau mengurangi jumlah dari mereka akan juga mengurangi pendapatannya. Ditambah lagi dia tidak mendapatkan apa-apa hari ini. Dan siapa yang akan dihadapinya kalau sampai itu terjadi? Ayahnya.
Napas yang keluar dari hidungnya terlihat seperti kepulan asap. Alat-alat geraknya semakin sulit untuk mengikuti perintahnya. Semuanya mati rasa. Dia tidak heran lagi kalau saat dia becermin nanti, ada es yang menggantung di ujung hidung, daun telinga, bulu mata, bahkan surai keping coklatnya.
Jadi, dari segala keyakinan dan kenekatan yang terkumpul, didapatkannyalah sebuah nyali yang cukup besar untuk mengambil salah satu dari kotak korek api itu.
Dia menggeser tutup kertas yang melindungi batang-batang kayu sepanjang ibu jarinya dengan karbon hitam diujungnya. Meraih sebuah, lalu menggesekkannya dengan cukup kuat di sisi kotak yang lebih gelap dan kasar.
Percikan bunga oranye terlihat. Kemudian semakin membakar ujung batangan itu, membuatnya menjadi lebih besar. Lidah itu terlihat menari-nari.
Batang itu didekatkan Arka ke depan wajahnya. Menangkupnya dengan sebelah tangan. Hangatnya terasa menyenangkan. Mampu mencairkan kebekuannya, termasuk hati dan hidupnya.
Mata safir Arka tetap memandangi api kecil itu. Mengikuti liukan wujudnya yang searah dengan angin yang menggerakkannya, sampai udara di atasnya yang terlihat melepuh. Menyebabkan pantulannya terlukis jelas di sana.
Indah sekali.
Sekonyong-konyong, kehangatan, tarian, dan udara yang melepuh itu merubah latar belakang yang ada di selaput lensanya. Memudarkan tampilan langit malam, bulan, juga bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Phantasm
RomancePada segala garis dan suratan yang seakan tak pernah berkehendak untuk menorehkan kebahagiaan kembali dalam hidupku, kukatakan bahwa telah kutemukan dia sekali lagi ... di tengah kepergian manusia brengsek itu, di sela tarian api itu, di dalam dekap...