Jadi apa yang akan terjadi saat aku mengetuk pintu?
Apa yang akan terjadi saat aku menginjakkan kakiku di lantai rumah?
Apa yang akan terjadi saat Ayah melihatku dan mengetahui kalau aku tidak membawa apa-apa selain dagangan yang tidak laku, malah menggunakannya untuk kepentinganku sendiri?
Apa?
Barisan pertanyaan itu sudah berseliweran dalam kepala Arka bahkan sebelum dia melakukan salah satunya.
Dipandanginya lekat-lekat benda berwarna tidak jelas yang berada sejajar dengan matanya. Tangannya sudah terangkat, menonjolkan sendi-sendi jemarinya yang tertempel di lempeng-lempeng papan yang disatukan, bersiap untuk mengetuk. Sampai perasaan tak enak itu muncul dan membuatnya mengurungkan niat.
Haruskah kulakukan?
Tapi pada saat itu, penurunan suhu udara semakin menjadi-jadi. Api kecil dari sebuah korek-di mana hanya itulah harapan baginya-takkan sanggup dijadikan perlawanan. Kalau dia tidak segera masuk ke dalam, dia akan berubah menjadi manekin dalam sekejap.
Dan kalau dia tidak masuk ke dalam, dia harus masuk ke mana lagi?
Sebaiknya coba saja. Mungkin Ayah sedang berbaik hati.
TOK. TOK. TOK.
Arka tak berani menarik molekul oksigen untuk mengisi paru-parunya. Dia menunggu dengan ketegangan, seperti akan dieksekusi mati kalau yang terjadi selanjutnya tidak sesuai dengan kemauannya.
Detik-detik berlalu dengan kekosongan. Tak ada jawaban.
TOK. TOK. TOK.
Dia mencoba peruntungannya sekali lagi.
"Sedang apa kau di situ?!"
Seharusnya dia merasa senang, karena cukup pada kali kedua saja dia langsung mendengar jawaban. Tapi kali itu tentu saja tidak, karena yang terdengar dalam kata-kata itu bukanlah kekhawatiran seorang tua pada umumnya, melainkan kecaman penuh.
Tiba-tiba saja pria itu sudah berdiri tegak di hadapannya. Membuatnya gelagapan.
"Apa yang kau dapatkan hari ini?!" dalam rupa desisan yang sudah biasa dia perbuat. Bahkan saat mendesis saja dia terdengar menakutkan.
"Aku ... t-tak membawa apa-apa ... Ayah ... tidak a-ada satu pun yang t-t-terjual ..."
PLAK!
Arka sudah perkirakan itulah yang akan terjadi. Terlepas dari itu, dia punya seribu alasan kenapa dia harus tetap melakukannya kan?
Dia hanya bisa memegangi pipi kirinya yang memerah. Panas dan amat perih. Pelan tapi pasti akibatnya mulai melingkupi dirinya. Namun tetap saja tak memberikan pengaruh yang besar pada kehangatan tubuhnya. Justru pada gelombang emosinya.
"Sudah pernah kukatakan padamu kan?! Jangan pulang sebelum kau mendapatkan uang!"
"Kalau aku tidak pulang, aku ... aku bisa mati Ayah."
"APA PEDULIKU?!"
Bodoh. Apa yang diinginkannya tadi? Mengungkit rasa perikemanusiaan makhluk ini?! Tak mungkin terjadi!
"Aku ... aku minta maaf ... aku tidak bisa ..."
"DIAM! Memangnya permintaan maafmu itu bisa menghasilkan apa?! Tidak ada kan?! Tidak ada!"
Bulu kuduk Arka meremang. Hembusan yang ada di sekitarnya semakin menusuk. Dia tidak akan sanggup berada di luar lebih lama lagi.
"Sekali ini saja, Ayah. Sekali saja ... biarkan aku masuk ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Phantasm
RomancePada segala garis dan suratan yang seakan tak pernah berkehendak untuk menorehkan kebahagiaan kembali dalam hidupku, kukatakan bahwa telah kutemukan dia sekali lagi ... di tengah kepergian manusia brengsek itu, di sela tarian api itu, di dalam dekap...