Reminiscence

33 1 0
                                    

Wajah itu ... aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.

Sudah dua tahun berlalu semenjak peristiwa tak terduga itu terjadi. Tapi kesan dan kenangan yang tertinggal, masih segar dalam memori juga hatinya. Sederhana saja, dia menaruh sesuatu yang lebih pada laki-laki itu.

Iya, laki-laki yang telah menyelamatkan nyawanya. Laki-laki yang tak dia kenal. Laki-laki yang telah mengeluarkan bisa ular yang mematikan dari tubuhnya. Laki-laki yang telah meninggalinya sepucuk saputangan. Laki-laki yang telah membuatnya dalam sekejap menjadi seorang anak yang ... abnormal.

Sudah dua tahun pula aku mencoba memendamnya, menghilangkannya, menghapusnya. Tetapi tidak bisa. Dan tiba-tiba sekarang kau datang kembali.

Aku harus bagaimana?

Laki-laki itu telah menempati posisi yang tidak biasa dalam hatinya. Yang membuatnya tak akan pernah lupa. Yang menerbangkan ribuan kupu-kupu dalam perutnya setiap kali dia mengingatnya, yang menorehkan debaran jantung yang memompa lebih cepat setiap kali dia memikirkannya.

Yang membuat darahnya berdesir saat mereka melaju dalam pembuluhnya, yang membuat hatinya meronta-ronta setiap kali dia merenunginya kembali.

Tapi di lain sisi, yang juga memerintahkan logikanya untuk berseru.

Aku ingin sekali memilikimu dan menjadi milikmu.

Anak laki-laki itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali tentang apa yang baru saja lewat dalam otaknya.

Itu tidak boleh terjadi! Itu salah besar! Aku membencimu! Aku benci perasaan ini! Aku benci diriku sendiri!

Tidakkah Tuhan, Kau tahu?

Jika memang Kau larang aku untuk terlibat dalam hubungan yang seperti ini, mengapa Kau datangkan lagi setiap harap yang amat menggebu itu dengan mempertemukanku kembali dengannya?

Apakah itu artinya aku punya kesempatan? Kesempatan di mana aku diizinkan untuk melanjutkannya? Tapi ... dari mana aku boleh berharap kalau dia juga memiliki apa yang kurasakan untuknya?

Hanya untuknya.

Remaja beriris cokelat kekuningan itu menghembuskan napasnya tanpa berbunyi.

Dia tidak boleh berpikir sejauh itu. Sudah cukup pergumulan dirinya tentang apa yang dinamakannya 'kebodohan' ini. Dia tahu, dia tidak akan pernah dapat menggapai laki-laki yang kini berada satu atap dengannya itu.

Bukankah sudah cukup menyakitkan, memiliki kelainan seperti ini? Apakah dia juga harus menduga-duga, bahwa laki-laki itu takkan pernah mau membalas rasa yang terlanjur dimilikinya?

"Dafi? Dia sudah terbangun? Mengapa kau hanya berdiri di situ saja?"

Seorang wanita berpotongan rambut hanya sampai di bawah daun telinga, mendekatinya dengan langkah-langkah ringan.

Kemudian, dijengukkannya kepalanya ke dalam kamar dari pintu yang terbuka, ke arah fokus putranya sejak belasan menit yang lalu.

"Jangan khawatir, dia pasti akan segera bangun. Dia hanya butuh istirahat. Yang banyak," sambung wanita itu sambil merangkulnya.

Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Dafi," wanita itu secara tidak langsung memintanya untuk menegakkan kepala. "Kau tidak keberatan seandainya Ibu mengajaknya tinggal bersama kita di sini, kan?"

Mulutnya terbungkam. Lidahnya terasa kelu, sulit sekali untuk digerakkan.

Kalau saja Ibu tahu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PhantasmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang