Seorang wanita yang sedikit berkeriput tapi cantik, duduk yang sepertinya di singgasana yang kelewat megah. Aku berulang kali mengagumi ruangan ini. Aku sudah menebak-nebak bahwa ia pasti ibu Joanne karena ia sangat mirip dengannya. Ia bersandar di sandaran kursi singgasana, ia seperti tidur tapi tidak.
Aku dapat melihat ia menyunggingkan senyumnya saat aku memasuki ruang ini. Dan ia mengatakan "hei." Dengan sangat pelan padaku. Hal yang sangat menarik perhatianku adalah mahkota birunya yang tinggi dan cocok dengan gaunnya dan berbatu safir berkilauan-itu lebih terlihat seperti topi bagiku.
Joanne tetap merangkul ku. Aku menunduk hormat saat sudah tepat berada dihadapannya. Ia bangun dan duduk tegak sekarang. "Terima kasih atas kesediaan mu untuk datang, sayang. Terima kasih." Bisiknya lirih. Ia menyuruhku untuk lebih mendekat padanya.
"Bagaimana kabarmu? Kau lebih cantik saat sebesar ini. Kau dulu begitu lugu." Ia tertawa. "Ya aku baik. Terima kasih." Kataku malu-malu. "Apa kau bersedia membantu ku-walaupun memang hanya kau yang dapat membantu kami. Hanya kau satu-satunya." Ia menungguku. Hening. Aku menggelengkan kepalaku. "Tapi kenapa aku? Aku tidak begitu paham tentang...semenjak aku datang ke sini. Aku tahu ini semua tidak begitu asing, bahkan aku merasa bahwa aku mengenal semuanya, tempat ini, orang-orang ini, dan bahkan Gavin. Tapi aku tahu itu hanya mimpi dan... semuanya terasa begitu nyata dan... " aku mendesah. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku benar-benar pusing sekarang. "Hmmm... perlahan, kau akan mengerti, sayang." Ia memegang lembut pundakku. "Oh, sekarang aku merasa lebih kuat karena kau disini. Aku senang sekali." Katanya diiringi tawa yang tidak palsu. Aku terus menunduk.
Ia bangkit dan mengajakku keluar. Melewati banyak lorong dan melewati dapur utama-aku tahu karena ia mengatakannya padaku-banyak juru masak dengan gaun yang agak kumuh menyapa kami.
Sekali lagi, aku melihat hamparan rumput taman yang sangat luas, teduh , tenang dan begitu damai. Aku menarik napas dalam-dalam. "Selamat datang di underworld." Ia membungkuk. Aku mengernyitkan sebelah alis ku, tanda bahwa aku tidak mengerti. Tapi sepertinya ia tak peduli. Meskipun begitu aku sedikit banyak tahu tentang tempat ini. Tempat ini aneh dan tidak asing bagi ku, tempat ini jauh dari kata 'modern'. Seperti ruang lingkup Hobbiton, yang menyejukkan hati, jika kau tahu maksudku. Itu yang ku ketahui tentang tempat ini.
"Aku Loraine, ibu Joanne dan Gavin. Aku tidak ingin berbasa basi, Anna. Anggap saja ini perkenalan pertama kita." Aku mengangguk sambil memegangi mahkota kecil dikepala ku. Takut-takut kalau ia akan terjatuh. "Sedekat apa kau dengan Lilly?" Pertanyaan yang begitu mengejutkan ku. Semua orang mengenal Lilly? Bahkan Loraine? Apa Joanne juga? "Tentu saja tak terhingga. Ia adik ku. Adik kandungku. Kurasa Gavin sudah memberi tahu mu, karena ia berkata padaku bahwa ia terus mengawasi ku di rumahku, harusnya kalian tahu itu lancang dan sedikit berlebihan." Kataku agak kasar, tapi sungguh aku menyesal. Ekspresinya sedikit kaget dengan nada bicara ku. "Maaf." Kataku. "Tidak apa. Aku mengerti." Ia mengelus punggung ku. "Jadi, kenapa dengan Lilly.""kurasa kau harus tahu dari awal." Aku mendengar dengan baik. "Tapi bagaimana kalau Lilly adalah bukan Lilly?" Katanya, Aku lebih terkejut dari sebelumnya. "Tentu saja Lilly tetap Lilly. Apa maksudmu?" "Yang aku katakan benar, sayang.""kenapa?""apakah kau pernah dengar tentang mermaid? Atau Seirenes?" Tanyanya tanpa menatapku. "Ya, tentu. Semua orang tahu itu. Ibuku sering menceritakannya padaku dulu sesaat sebelum tidur. Cerita yang menarik." "Yeah, memang menarik. Tapi itu hanya dongeng. Yang ibumu katakan hanya dongeng. Ada sesuatu pada mereka yang tak kau ketahui. Mereka memang seindah yang ibumu katakan tapi mereka sangat naif. Mereka haus darah dan penuh dengan kegelapan." "Jadi, apa hubungannya dengan Lilly?" "Mereka berhubungan. Aku tidak tahu kenapa kaum siren itu memilih adikmu. Kemungkinan besar karena kami juga memilihmu." Aku kaget sejadi-jadinya. Itu semua masuk akal karena sampai sekarang aku masih berdiri di sini. Tapi aku tidak yakin tentang Lilly. Ia sudah tiada. Aku terkekeh lirih. Aku yakin Gavin maupun ibunya pasti sudah gila. Karena terus meyakinkanku bahwa Lilly hidup. Tapi aku tak sepenuhnya tak percaya.
Loraine menyadari ketidakpercayaanku. Ia mengambil tanganku dan mulai menyusuri taman belakang kastil. Terdapat gerbang dengan dua pintu dihadapan kami lengkap dengan masing-masing penjaga yang lumayan banyak. Masih jauh untuk sampai kesana. Aku merasa sedikit risih dengan gaun yang kupakai. Aku sering tersandung karenanya. "Maaf soal itu. Kau belum terbiasa." Loraine tertawa melihat ku tersandung terus-menerus. Aku malu-malu. "Kau butuh hiburan. Aku akan melanjutkannya nanti." Aku mengangguk. Ada sesuatu yang salah pada diriku. Tidak ada rasa penasaran yang berlebihan seperti biasanya. Atau aku hanya menganggap semuanya hanya omong ksong? Sepertinya memang begitu.
Loraine membawaku menuju Gavin yang sedang mengelus kuda coklatnya. Kuda itu mengendus nyaman karena Gavin. Gavin tersenyum dan membungkuk hormat. "Ku harap kau tidak phobia pada kuda." Oh ya aku senang sekali, dan sekarang kami akan berkuda dan ia menantang ku. "Salah satu hobiku. Sebenarnya." Aku bohong. Berkuda bukan hobiku. Aku lebih senang mengoleksi novel ketimbang menunggangi kuda. Meski begitu, bukannya aku tidak bisa, aku punya satu, di rumah kakekku. "Oh ya? Itu awal yang sangat bagus." Kata Gavin, ia berbicara pada Loraine dengan sedikit memujiku. Loraine hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu kemudian datang seorang negro dengan membawa kuda putih yang tak kalah besar dengan punya Gavin lengkap dengan pelana-nya. Aku takjub sekaligus takut. Aku tidak ahli dalam menunggang kuda. Gavin membopongku menaiki kudanya. "Siapa namanya?" Tanyaku. "Moreey." Aku mengangguk pelan. "Baiklah Moreey, jangan jatuhkan aku." Aku berbisik pada kuda ini. Ia gemuk dan dan gaun ini membuatku sangat kerepotan. Aku turun lagi. Loraine memandangku heran. "Ini, pegang benda ini. Aku tak ingin ia rusak." Aku memberikan mahkota kecil nan indah berbatu pualam ini pada Loraine. Ia tertawa.
Aku menunggangi kuda dengan kecepatan yang sedang, aku terus menarik talinya. Gavin selalu disampingku. Lalu entah kenapa Moreey semakin melaju dan meninggalkan Gavin. Aku tidak menyadari bahwa Moreey membawaku semakin menjauh dan dengan kecepatan penuh Moreey membawaku.
Kami sampai di dekat hutan yang berkabut, mungkin embun dan suara-suara burung yang menyeramkan. Perbedaan sangat jelas antar tanah yang ku pijaki dengan hutan itu. Hutan itu jelas terlihat gelap dan basah. Seperti ada sesuatu. Lalu tiba-tiba Moreey menggelepar dan berputar, membuatku pusing. Moreey merasakan sesuatu yang aneh, sama sepertiku tapi naluri Moreey lebih kuat ketimbang aku. Moreey berhenti.