Sejurus cahaya memantul di setiap sudut ruangan. Menyilaukan. Membutakan membuatku tak sanggup membuka mataku. Seseorang mengetuk pintu dengan keras. Aku masih diam, memastikan suara ketukan itu tidak berasal dari mimpiku. Lalu ada ketukan lagi dan lebih keras. Aku langsung terkesiap dan bangun dari tempat tidur buru-buru.
"Maaf. Aku...aku baru bangun." Kataku sambil menguap. Dan benar saja, Gavin didepanku. Dan sudah rapi sepagi ini? Ia tersenyum sinis.
"Ada apa?"
"Kita akan jalan-jalan." Katanya memegangi rambutku yang kelewat berantakan.
"Baik, aku akan bersiap." Kataku malu-malu.
Sudah berjam-jam aku duduk di halaman depan kastil, menunggu Gavin bersama seekor kuda disampingku yang entah sejak kapan ada disitu. Dan sayangnya aku tidak punya arloji sekarang.
Gavin menunggangi kudanya pelan. Ia muncul dari jalan setapak di samping kastil.
"Mari." Ia tidak turun.
"Maksudmu kau akan memboncengku." Ia mengangguk. Itu manis sekali. "Tapi gaunku besar sekali hari ini. Adikmu terlalu baik padaku. Jadi kupikir lebih baik kita jalan kaki." Lalu ia turun.
"Baiklah. Jika itu maumu."
¤¤¤
Kami mulai menuruni gundukan tanah besar mirip bukit. Maksudku ini bukan benar-benar bukit. Hanya saja mirip. Ini cukup melelahkan dan semua itu terbayarkan dengan apa yang kami lihat di depan. Sangat indah. Cerah. Kami dipinggir danau sekarang. Kastil masih tampak di kejauhan. Angin menjadi sedikit kencang dan meniupkan banyak daun-daun kering. "Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Pribadi tentang diriku." Kata Gavin berbaur dengan suara angin. sambil berjalan pelan, aku mengimbangi Gavin. Dan ia menarik tali untuk membawa August(kuda cokelat milik Gavin) kemana pun kami pergi.
"Katakan." Kataku. Aku memandanginya.
"Aku adalah seorang suami..." Dan BUMM aku seperti tersambar petir. Ini sedikit mengagetkanku. Menyakitkanku. Aku menghentikan langkahku. Gavin tidak menyadari.
Aku menyukainya! Tentu saja aku terkejut. Maksudku memang dari awal aku menyukainya. Ia pantas untuk disukai. Ia tampan, berwibawa dan meski kadang-kadang aneh. Hanya saja ia tampak masih muda untuk mempunyai seorang istri meskipun ia mengatakan bahwa ia memasuki 400 tahun. Jadi kurasa wajar jika aku berharap padanya. Dan ya tuhan, sekarang?
"Aku kehilangannya saat ia memasuki hutan itu. Dan tak pernah kembali. Ia begitu penasaran tentang ada apa dengan hutan itu. Aku beribu kali melarangnya dan suatu ketika saat kami bertengkar, ia melarikan diri dan memasuki hutan itu." Ia mulai terisak dan aku membawanya duduk di tanah. August di belakang kami. Isakkannya lebih kuat sekarang. Ini begitu dramatis. Sehingga aku tidak menyadari bahwa yang menangis didepanku adalah seorang pria. Pria malang yang kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. "Aku...aku menyesal Anna. Aku begitu bodoh. Ini semua karena diriku." Ya tuhan. Ia terlihat begitu menyedihkan sekarang. Dirinya yang manis, kuat, penuh kewibawaan dan kegagahannya seketika hilang. Ia seperti seorang anak kecil yang meringkuk karena kesedihan sekarang. Aku bahkan hampir tak mengenalinya. Aku mendekapkan dirinya kepelukanku. "Ini bukan salahmu, Gave. Kau tidak melakukannya. Ini takdirnya. Tidak baik jika kau terus menerus menyalahkan dirimu." Ia bangun dari pelukkanku dan berhenti menangis dan menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Ia menahan tangis dan amarahnya. Dan mendesah beberapa kali. "Masa bodoh dengan takdir. Takdir sialan itu tidak ada. Jika memang takdir itu ada. Aku bahkan sudah memiliki seorang putra sekarang. Jika takdir itu ada tidak mungkin sekejam ini, Anna. Takdir akan meniadakan seirenes bajingan itu. Kakekku, ayahku, istriku dan juga putraku yang malang. Takdir itu tidak ada Anna. Tidak ada." Ia tertunduk sekarang. Aku kembali mendekapnya. Kali ini lebih erat. Terkagetkan dengan krnyataan bahwa istrinya tengah mengandung dan tak pernah kembali membuatku terasa dicabik. Teralihkan dengan kenyataan bahwa ia seorang suami, aku malah memeluknya. Aku rasa ini sepadan, karena mungkin dengan ini ia merasa lebih tenang. Dan benar saja, semakin lama isakan itu semakin sulit didengar.
"Hei Gave. Aku ingin mengatakan beberapa hal pribadi juga padamu." Aku mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba memcekam. "Yang pertama, aku tidak suka gaun seperti ini. Aku lebih suka jeans atau semacamnya. Dan tatanan rambut seperti ini. Ini sangat merepotkanku jika setiap hari aku harus ditata, meluangkan beberapa jam waktu setelah mandi hanya untuk rambut. Itu membuang-buang waktuku. Jadi bolehkah aku mengurainya?" Ia kembali bangkit dari dekapanku. Matanya sembab dan seulas senyum terukir di bibir merahnya. Terima kasih tuhan, ini berjalan dengan baik. "Semuanya terserah padamu. Aku akan bilang pada Joanne untuk mengganti pakaianmu dengan pakaian pria, jika itu maksudmu." Apakah ini humornya? "Kau tahu persis apa maksudku Gave." Aku menyipitkan mataku kearahnya. "Tapi sungguh. Ini bukan kotamu, sayang." Ia membelai rambutku lagi. Ia mulai aneh sekarang. "Lagipula, aku suka kau begini." Sudah dipastikan, ini kalimat pujian dengan ribuan duri. Aku terus mengingat ia adalah seorang suami. Dan aku tetap merona. "Wanita mengenakan gaun dan para pria dengan setelan seperti ini. Oh jika kau tidak suka kau boleh melepas gaunmu." Mataku membelalak. Bukankah barusan ia menangis? Oh tuhan, sekarang jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Ia tertawa. "Lupakan soal itu. Apa yang kedua?" Aku masih sangat malu dan belum bisa merangkai kata-kata, karena memang aku tidak merencanakannya. "Yang kedua...ummm aku...aku bohong soal berkuda. Maksudku aku tentu saja bisa tapi aku tidak terlalu mahir. Lagipula kau terlalu sombong waktu itu jadi aku ingin membalasnya." Pandangan aneh yang tak bisa kujelaskan terlempar kearahku. Walaupun aku tak menatapnya tapi aku dapat merasakan ia menahan tawa sekarang. "Aku hanya benci dianggap remeh. Maaf." Lalu ia tertawa. Ohh my.