Hari selanjutnya, penuh dengan pedang dan tali. Patung dan orang berpakaian besi. Air dan api. Satu-satunya hal yang bagus adalah aku mendapatkan celana dan tidak ada tatanan rambut bak seorang putri. Hanya kuncir kuda.
Joanne masuk ke ruanganku. "Selamat pagi, Anna." Ia membawa beberapa helai pakaian. Aku melihatnya lewat cermin. Aku tengah merapikan rambutku. "Pagi." Kataku tersenyum lebar.
Joanne terlihat buru-buru. "Kau sudah siap? Kakakku sudah menunggumu dilapangan." Aku mengangguk. "Oh, ya." Aku salah tingkah. "Tapi tempat makanku..." Sebelum aku melanjutkan perkataanku, Joanne dengan keras menarik tanganku. Aku belum sempat membereskan nampan bekas sarapanku, meskipun aku tahu Morris akan melakukannya.
Oh dan tentang Morris, Morris adalah seorang pelayan dikamarku. Dia terlihat seusia ibuku, oh bayangkan! Jika Gavin saja hampir 400 tahun, setua apa lagi Morris? Aku tidak berani bertanya. Tapi dia juga cantik, sangat terawat. Dia juga baik padaku.
"Lupakan saja. Kau hanya perlu berlatih hari ini. Gavin sepertinya tidak sabar untuk melatihmu. Ia selalu melirik ke arah bilikmu." Kata Joanne setengah berbisik. Sejujurnya aku tidak malu sekarang, sungguh. Ini belum cukup baik, ia hanya tidak sabar untuk melatihku. Bukan menemuiku. "Aku harus minta maaf karena telah membuatnya menunggu." Aku berkata apa adanya.
Kami masih melewati lorong-lorong yang berkelok. Kastil ini kelewat besar. Joanne berjalan cepat dan tak melupakan keanggunannya. Sedangkan aku hanya harus terus mengimbangi. Dan dengan celana tak akan membuatku kerepotan.
"Kenapa lama sekali, sich?" Kata Gavin menyandarkan dagunya pada pedang yang ia tancap ketanah dan merusak rumputnya. Aku tak bisa menjawab bahwa aku hanya ingin tampilan yang baik. "Aku terlalu lama mengantarkan pakaiannya. Benarkan, Anna?" Joanne tersenyum dan memandangku. Entah itu ejekkan atau ia ingin aku terselamatkan. Kurasa keduanya.
¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤
Kami jauh dari orang-orang sekarang.
"Apa kau lelah?" Tanya Gavin di tengah-tengah perjalanan santai kami menuju ruang dewan. Aku hanya menggeleng.
"Mungkin sedikit." Gavin terkekeh. "Percayalah. Itu belum seberapa. Itu hanya dasar. Dan kau sangat mudah mengerti semuanya, huh? Aku suka itu." Aku mengiyakan semua yang Gavin katakan termasuk pujiannya. Meskipun ada perasaan senang dihatiku.Sejujurnya aku tidak terlalu lelah setelah semua pelatihan yang Gavin berikan padaku. Caranya memegang pedang dan talinya, itu lebih keren dari pada Cowboy. Dan cara ia memegangiku agar memegang keduanya dengan benar. Itu sungguh indah. Dan aku ingin melakukannya lagi. Apa aku benar-benar menyukainya?
Aku memandang takjub saat Gavin menunjukkan beberapa hal padaku. Seperti, lukisan raja yang turun temurun yang memimpin wilayah ini,pakaian besi yang biasa di pakai saat bertempur. Atau bahkan barang-barang antik.
"Baju besi ini, sudah sangat lama tak pernah terpakai. Sejak ayahku meninggal. Kurasa tidak akan ada perang lagi selama kaum siren itu ada. Kami tidak pernah keluar dari zona aman. meskipun jika kita berada di dekat wilayah mereka yang dimana kita bisa menyebutnya sangat jauh tapi mereka bisa merasakan kita. Dan Kita. Dan penduduk sangat aman disini." Aku hanya mengangguk.
"Gavin?" Aku memandanginya. "Ya?" Kami bertatapan. "Dimana adikku?" Ia mengalihkan pandangannya dariku. Ia menghela berat nafasnya sembari duduk terkulai di atas kotak kayu yang besar.
"Kau akan tahu nanti, aku tak bisa memberi tahumu Anna. Terlalu berat untukku." Ia menutup matanya dan mengacak-acak rambut coklatnya.
"Tapi kenapa, Gavin? Apa yang salah?" Saat aku menuntut, Gavin langsung pergi meninggalkanku lagi. Dia memang aneh.
"Gavin!" Aku meneriakinya. Ia berhenti berjalan dan menoleh padaku. Jadi aku menyusulnya.
"Boleh aku minta sesuatu?" Kataku seraya berlari. Gavin tampak masih kesal padaku. Itu terlihat dari sorot matanya padaku yang melihatku tajam. Apa yang salah jika aku bertanya keberadaan Lilly? Bahkan ia saja tidak menjawabnya.
Oke aku mundur."Apa?" Tanyaku pada Gavin yang makin mendekatkan wajahnya padaku dan tak melepaskan tatapan tajamnya padaku.
"Apa?" Katanya.
"Apanya yang apa? Kau ini kenapa huh?" Aku meringis. Ia mendengus kesal.
"Bukan, apa permintaanmu?"
"Ehhh, aku...aku tak akan tidur malam ini. Aku...umm jadi, bisa kau menemaniku?" Ia tertawa. "Tentu saja. Oh Anna, dengan senang hati aku akan melakukannya." "Well, umm, kau boleh pergi." Oh ya tuhan, dimatanya aku tau ia sedang merencanakan sesuatu yang licik padaku, semisal seperti malam itu. Ia mencoba membuatku patah hati dengan semua dongengnya yang mengerikan dan juga Josh dan Maria. Atau sesuatu yang lebih mengerikan, seperti ia akan menciumku? Oh my. Tapi sejujurnya aku hanya ingin ia bercerita lebih banyak lagi padaku. Aku tak berani berharap setelah kali pertama aku di tempat itu. Tanpa sadar aku tersenyum.