11 - Saingan

11.1K 921 71
                                    

[edited]

ps : ini langsung copas dari ms word tanpa editing di wattpad, oleh karena itu tabulasi, cetak miring/ tebal... ilang semua.

**

NADINE memangku wajah dengan telapak tangan, sikutnya menjadi topangan. Dia tidak terlalu memperhatikan penjelasan guru pria di depan sana.

"... tiap kelompok terdiri dari dua orang. Untuk pembagian kelompoknya, sama temen sebangku aja biar gampang." Mata guru berwajah tampan itu menelusuri sepenjuru ruangan. Ketika ia melihat Nadine yang melamun, dia menggelengkan kepala. "Berhubung Nadine nggak ada temen sebangku. Kamu sama Popi. Popi, kamu pindah ke samping Nadine," perintah guru pengampu mata pelajaran Seni Budaya ini. Pak Seno.

Popi mengangkat wajah dari buku gambar tempat ia membuat sketsa abstrak. Popi nggak pinter ngegambar. Tanpa banyak bicara, Popi merapikan buku-buku dan alat tulisnya lalu pindah duduk di samping Nadine. Nadine menyambutnya dengan senyuman manis. Popi tersenyum rikuh membalas senyuman Nadine. Cewek jutek kek Popi emang susah buat di suruh senyum manis. Keliatan maksa banget ekspresinya.

Pak Seno mulai membagikan selembaran kertas buram yang isinya tugas kelompok ke setiap meja. Masing-masing mendapat satu.

"Tugas kalian, bikin nirmana lalu warnai pakai cat air. Tugas ini dikumpulin minggu depan."

"Pak kalau nggak diwarnain pake cat air gimana?" Dino mengangkat tangan kanannya dan bertanya pada Pak Seno.

Pak Seno mengangkat sebelah alisnya. "Kamu mau coba nawar?" tanya balik Pak Seno, matanya menyipit tajam. Dino nyengir.

"Ya kali aja boleh, Pak," balas Dino cengengesan.

"Kalo Bapak kasih nilai di bawah KKM, boleh?"

Dino cemberut. "Ah, Bapak, nggak asyik. Saya kan nggak punya cat air. Cat kuku di rumah banyak, Pak," sungut Dino.

"Cat kuku? Lo pakai cat kuku, Din? Lo... lo nggak ada keinginan buat melencengkan?" bergidik, Reza, teman sebangku Dino yang juga nggak kalah somplak dari Dino bertanya dengan nada terkejut.

"Itu punya Kakak cewek gue!"

"Heh, udah-udah. Jam pelajarannya udah mau habis. Mumpung saya masih ada di sini, kalo ada pertanyaan buruan ditanyakan," ujar Pak Seno menengahi perdebatan Reza dan Dino yang mulai memanas.

"Pak, satu kelompok buat satu nirmana, kan?"

"Iya."

"Kalo satu kelompok buat dua boleh nggak?"

"Boleh, kamu mau buat seratus biji juga boleh. Tapi tetep aja saya cuma nilai satu."

"Yah, Bapak."

**

"Nad, gimana kalo weekend aja kita ngerjain nirmananya?" tanya Popi saat Nadine membereskan barang bawaannya.

Nadine mangut-mangut. "Boleh, mau dikerjain dimana?" Menatap Popi, Nadine melihat cewek itu tengah mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di dagunya.

"Di rumah gue aja. Gue lagi nggak dibolehin keluar rumah sama Nyokap."

Meski penasaran kenapa Popi nggak dibolehin keluar, Nadine nggak nanya. Dia cuma ngangguk setuju. Dia ngerasa nggak sopan aja kalo ngepoin Popi.

"Ntar alamatnya gue kirim lewat BBM. Gue minta pin BB lo dong?" Mengeluarkan Blackberry keluaran terbaru-nya, Popi membuka aplikasi BBM.

"SMS aja, gue nggak pake BBM. Lo tahu sendirikan gimana nasib HAPE gue?" Nadine tersenyum setengah, mengeluarkan HAPE polyphonik yang ia pinjam dari Pak Tono.

Our Distance After Backstreet (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang