Gedung Tua

457 29 2
                                    


Nara gak menyangka bahwa dihari ulang tahunnya, ia akan dipermalukan didepan seluruh siswa dan siswi sekolahnya oleh kedua orang paling penting dihidupnya. Dhika dan Meira. Sang mantan pacar dan mantan sahabat.

Dhika dan Meira dengan sengaja menyebarkan rahasia terdalam milik Nara, padahal gadis itu telah percaya 100% pada mereka berdua. Sayangnya, kala itu Nara masih lemah dan tak berdaya. Dia itu cuma cewe culun yang beruntung karena bisa dekat dengan Dhika dan Meira yang termasuk anak 'populer' disekolahnya. Dan belakangan ia tahu bahwa motif mereka berdua sama, hanya menjadikan Nara barang taruhan.

Satu tahun untuk bisa bersahabat atau bahkan berpacaran dengan Nara, imbalannya adalah dua tiket liburan ke Paris. Siapa yang tak tergiur dengan iming-iming seperti itu? Point minus untuk Nara karena sampai saat ini ia sungguh tak tahu siapa orang biadab yang membencinya sedalam itu, yang rela membayar mahal hanya untuk kesengsaraannya.

Dengan segera Nara berlari sekencang mungkin menghindari semua orang yang melihatnya dengan jijik dan ngeri. Mereka semua tau rahasianya, masa-masa kelamnya, yang sudah Nara kunci rapat-rapat dalam hatinya. Hanya saja ia terlalu bodoh untuk percaya dan terlena pada dua setan kecil penghianat itu.

Tanpa sadar kakinya telah membawanya berada didepan gedung kosong. Gedung kosong tak terurus yang berada tepat dibelakang sekolahnya. Tak ada perasaan ngeri sedikitpun dalam hatinya, meskipun ia sendiri sadar bahwa gedung itu adalah gedung terangker yang pernah ia tau. Mitosnya, saat jaman Belanda dahulu, telah terjadi pembantaian massal yang menimbulkan korban beratus-ratus banyaknya.

Dan yang pasti, saat ini Nara tak peduli sama sekali. Ia segera berlari masuk kedalam gedung kosong yang gelap, luas, dan sudah tak manusiawi untuk ditinggali manusia tersebut.

Sungguh, bau busuk dan suasananya yang lembap tak ia hiraukan sama sekali. Hanya ia anggap sebagai efek kemarahan yang ada dihatinya sejak tadi. Amarahnya kini memuncak dan membuatnya berteriak tak karuan ditengah gedung. Nara sudah seperti orang tak waras yang mengamuk sendirian dirumah sakit jiwa.

"COWO BANGSAT!!!! CEWE SIALAN!!!! MATI AJA LO BERDUA! DASAR PSIKOPAT GA PUNYA HATI, GUE BENCI!!!" Teriaknya untuk kesekian kali sembari menendang kursi kayu tak bersalah yang ada dihadapannya. Perasaannya campur aduk. Antara marah, kecewa, sedih, dan sakit hati, namun tak ada setetes air matapun yang jatuh. Menurutnya air mata itu terlalu berharga untuk sekedar menangisi para penghianat.

"Gak guna banget nangisin lo berdua! Ini hari ulang tahun gue tapi malah diginiin! Gak punya hati!! Pokonya gue kutuk lo berdua jadi babi selama-lamanya!!" Ucapnya lagi, kali ini sambil melemparkan sampah kaleng yang dipungutnya kesembarang tempat dengan kekuatan maksimum, bukti dari luapan kemarahannya.

"Ah!"

Mendadak segala perasaan campur aduknya hilang berganti dengan ngeri. Bulu kuduk nya tiba-tiba berdiri saat ia mendengar sesosok makhluk mengaduh kesakitan dari arah kegelapan yang ada didepannya. Nara dengan segera membalikan badan bersiap untuk berlari jikalau ada sesuatu yang tak diinginkan terjadi.

Tak terdengar suara apapun selain langkah kaki yang perlahan berjalan mendekatinya.

"Siapapun l-lo, g-gue minta maaf. Gue b-bakal pergi sekarang! Serius! Bye!" Ucapnya gelisah dan ketakutan. Keringat dingin mulai bercucuran bak air terjun dari tubuhnya. Suatu kebiasaan Nara yang muncul ketika ia merasa terancam. Segera ia melangkahkan kakinya dengan terbirit-birit menuju pintu keluar yang sayangnya berjarak cukup jauh dari posisinya saat itu.

Dirinya semakin dikagetkan dengan langkah kaki seseorang dari belakangnya yang semakin cepat melangkah seolah ikut berlari mengejarnya. Hanya tinggal satu langkah menuju keluar gedung, sesuatu itu menariknya masuk kembali dan sontak membuatnya memberontak serta teriak ketakutan.

"TOLONG!!!!! TOlONG GUE SIAP-mmph!!" Kalimatnya terputus saat sesuatu yang entah apa dan siapa itu membekap mulutnya dengan tangannya. Kali ini ia benar-benar ketakutan, Nara hanya bisa memejamkan mata berdoa dalam hati serta menyesali perbuatannya lari kemari.

Tak ada apapun yang terjadi setelahnya, tak ada suara maupun pergerakan yang terasa. Hal itu membuat Nara memberanikan diri membuka matanya perlahan. Mulutnya melongo tak percaya melihat pemandangan dihadapannya. Terlihat seorang pria yang sedang bersandar ditembok gedung tua tersebut, menatap Nara dengan wajah datar tanpa ekspresi. Dingin.

Hanya ada satu hal yang terlintas diotaknya kala itu,

Ganteng!!!!!!

Dean (EDITED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang