Melati

3.9K 26 3
                                    

Cerpen Karya : Rista Rifia Libiana

***

Pagi dingin. Kabut menebal dalam aroma sepi yang menyekat. Pohon-pohon menggigil. Bunga kamboja merah itu mulai ngilu dan terpaku pada buaian angin yang menganak-sungai menjadi salju.

Apa ini? Wangi. Ada aroma bunga yang buai aku di antara kebekuan pagi. Ada aroma yang begitu ku kenal. Ada aroma yang begitu ku cintai.

Ayu, jangan menangis. Ayah hanya pergi sebentar, kata Ibu pagi itu. Tapi ku tahu, ia tak pernah kembali. Suara-suara gumaman orang mendengung-dengung di telingaku. Suara yang lama-lama mirip do'a-do'a.

Ayat-ayat itu. Tapi, wangi itu kembali, atau bahkan ia tak pernah pergi. Ia memenuhi rongga hidung lalu mengalir dalam kepalaku, membius kesadaranku.

Ayu mana? Biarkan, dia di kamar. Dia pasti sangat terpukul. Dia kini sebatang kara.

Nanti kalau Ayu sudah besar, Ayu mau jadi apa? Jadi guru, jawabku begitu bersemangat waktu itu. Lalu, Ibu akan memelukku. Begitu hangat. Tidak seperti pagi ini. Tak sedingin ini.

Ibu kenapa pucat? Ibu tak apa-apa, Nak. Ibu hanya kurang tidur. Ibu istirahat saja! Biar Ayu yang menjahit baju Bu Titik! Tidak, kamu tidak bisa menjahit. Ibu tidak apa-apa.

Wangi itu lagi. Kabut masih menebal di luar, menggantung di atas kaca jendela yang mengembun, sesak dalam dingin. Bunga kamboja merah gugur satu-satu, mungkin batangnya lelah oleh dingin. Ia putus asa. Tirai jendela membeku, hanya terkadang mengayun di sibak angin. Sisa hangat bulan masih tertinggal di helai-helainya yang tipis.

Ibu berhati baja walau tubuhnya sangat ringkih. Kaki kurus itu seolah tak mampu menyangga tubuhnya yang walau hanya seringan kapas. Kulit wajah yang keriput, bukan karena usia, tapi karena masa yang terlampau kejam menderanya. Ia masih sangat muda bagiku. Tak pernah ia mengeluh walau hanya sepenggal kata. Ia selalu tersenyum dan menyanyikan tembang pangkur atau Durma yang mengalun merdu dalam sungai-sungai di rongga hatiku. Atau mendongeng kisah lampau, seolah-olah matanya yang luas itu seperti benar-benar menyaksikannya di waktu itu. Kisah-kisah itu seperti air bagiku yang selalu sepi, dan kering. Lalu Ibu akan menyiraminya dan menidurkanku dengan ciuman hangatnya.

Ibu tak pernah mengeluh, setidaknya padaku. Tapi ku tahu, setiap malam-malamnya, ia selalu terjaga, bangkit menyingkap gelap. Aku mendengar kericik air pancuran di halaman belakang. Dalam dingin, ia basahi tubuhnya yang sering ngilu-ngilu itu karena rematik. Tapi, agaknya ia tak pernah perduli.

Ia lalu masuk ke bilik, yang ku tahu setiap waktu-waktu tertentu, ia juga masuk ke sana, berganti kain yang serba putih, lalu bergumam-gumam sendiri dalam bahasa itu. Bahasa yang kata Ibu, lebih agung dari ribuan puisi. Kalau aku ingin melihat Ibu dalam bilik itu, aku intip dari balik pintu yang sedikit terbuka, Ibu duduk dengan wajah rembulan, tengadah dalam puji-pujian pada-Nya, pada sesuatu yang kata Ibu, Maha Tinggi, yang menciptakan alam semesta. Tapi aku tak paham itu apa.

Ayu, kamu sudah besar, sudah waktunya untuk shalat. Kenapa kita harus shalat? Karena itu wujud syukur kita kepada Sang Pencipta.

Aku tak pernah mengerti mengapa Ibu harus berterima kasih. Atas apa? Atas air mata itu? Atas pengkhianatan Ayah? Atas kepergiannya dalam pelukan wanita lain? Atas ejekan dan cemoohan orang-orang yang mengatakan aku anak haram? Apa itu haram? Bukankah itu untuk babi? Tapi aku manusia! Jangan begitu, Nak. Ini hanya cobaan. Tuhan yang lebih mengerti yang terbaik untuk kita. Mungkin duka lebih manis, lebih indah dari tawa, jika tawa akan membuat kita melupakan-Nya. Dia tidak pernah tidur, Nak. Dia sedang menguji hamba-hamba-Nya yang beriman.

Wangi itu datang lagi. Gumam-gumaman itu belum berhenti.

Ibu ingin kembali pada-Nya, setelah apa yang Ibu lakukan di masa lalu. Ibu tak bisa apa-apa. Semua telah terjadi, Ibu hanya bisa melakukan ini, kata ibu dengan matanya yang sungai dari hulu di gunung yang tinggi. Aku tak pernah mampu menyelaminya, terlalu luas dan dalam, terlalu berliku.

Ibu tak ingin engkau seperti Ibu, Nak. Ibu mau kau jadi anak yang sholehah, yang berbakti dan taat kepada-Nya, katanya lagi.

Apa pula itu sholehah? Aku juga sekolah. Aku sering mendengarnya, bersama dengan kata-kata yang lain, yang terlampau banyak dan membuat kepalaku berdenyut. Walau Ibu hanya seorang penjahit, ia tak pernah mau berhenti menyekolahkan aku, hingga sekarang, hingga aku menjadi sarjana. Belum, masih pekan depan, dan ia tak akan pernah melihat aku dalam upacara itu.

Sepertinya, aku jadi batu. Bukan Ibu yang melakukannya karena ku tahu ia tak akan setega itu. Lagipula, aku sangat menyayanginya, lebih dari apapun. Setelah segala apa yang ia alami, pantaskah aku menyakitinya? Entahlah, mungkin orang lain, mungkin Ayah, karena aku pernah memakinya, walau umurku belum genap enam tahun waktu itu.

Mungkin juga Tuhan. Entahlah. Tetapi yang jelas, aku telah menjadi batu. Bukan diriku yang sebenarnya karena aku tetap seorang gadis yang periang dan bahkan berprestasi di sekolah. Tetapi aku tak pernah mengenal Tuhan. Lebih tepatnya tidak mau karena ibu nyaris menyerah selalu berusaha mengajarkan aku, apa yang ia bisa. Tetapi, aku tak pernah mau. Bahkan seolah aku tak pernah mendengar apa-apa tentang-Nya.

Wangi itu kembali. Samar-samar di bawa angin yang merintis masuk lewat celah tirai. Wangi yang begitu ku kenal.

Ibu suka? Ibu tidak menjawab, hanya mentari hangat terbit dari bibirnya, mengalir ke lengannya yang lalu memelukku hangat.

Selamat hari Ibu! Bunga melati buat Ibu! Dan ibu semakin erat memelukku. Ibu sangat suka bunga ini. Kata ibu, melati itu putih, suci. Seperti yang ia ingin, kembali suci. Tetapi, ia bilang tidak mungkin. Kenapa? Tanyaku. Karena Ibu adalah lumpur. Ia tak akan menumbuhkan melati, apalagi menjadi melati. Ia terlalu hina sebagai melati. Tetapi, Ibu melati, sahutku. Ibu melati dalam hatiku! Dan mentari itu kembali terbit lewat bibirnya, namun tak pernah ia naik ke langit biru.

Wanginya, aku memang mengenalnya. Seperti wangi itu, wangi ibu, wangi kesayangan ibu.

Tiba-tiba ada resah dalam nadiku, membuncah dalam dadaku. Aku tak mau sendiri. Aku ingin mengejar apa yang selama ini dikejar Ibu dalam kesendiriannya. Aku ingin mencari apa yang dicintainya dalam penantiannya hingga sekarang ia telah berhasil mendapatkannya. Nama itu. Nama itu, aku ingin mencarinya sebagaimana Ibu. Nama itu. Tuhan. Allah swt.

Wangi itu kembali menyeruak dan membongkar keterasinganku. Wangi itu menyeretku dalam bayangan Ibu. Ibu yang begitu ku cintai. Ibu yang tadi pagi, sebelum mentari benar-benar terbit dari balik punggung bukit yang berduri, terduduk kaku dalam sujudnya, sujut terakhirnya, sujud pada yang dirindukan dalam keterasingannya, sujud pada Tuhan, sujud pada Allah.

Biarkan aku mengenal-Nya, Ibu! Biarkan aku mengenal-Nya! Lalu, ku tahu harus bangkit. Karena Ibu menunggu di luar sana dengan terbaring, serta mentari di bibirnya yang tak pernah terbenam, kebahagiaanya berjumpa Kekasih. Ibu menungguku. Dan aku harus bergegas. Sebelum do'a-do'a itu usai, lagu dan puisi yang di cintai Ibu, yang di baca Ibu dalam malam-malamnya. Sebelun mentari beranjak pergi. Karena Ibu menungguku, untuk mengantar kepergiannya. Aku membuka pintu, dan wangi itu lalu menyeruak. Wangi melati. Malang, 13 Desember 2005.

***

Sumber : Republika, Minggu 4 Maret 2007

Cerita Singkat KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang