1. ANAK PANAH 1/3

489 52 7
                                    

ABIMANYU memastikan bahwa dia tidak melupakan satu hal pun saat keluar dari kamar hotelnya, tetapi entah bagaimana caranya, Bambang malah berhasil mengingatkan bahwa Abimanyu lupa membawa kartu kunci kamarnya.

"Anjir!" seru Abi sambil menepuk dahinya. "Tunggu bentar!"

Abi segera berbalik, dan Bambang cuma bisa menggelengkan kepala. "Jangan lama-lama!" seru Bambang sementara Abi berlari ke arah tangga darurat. "Venue buka jam delapan!"

Abi tidak repot-repot menggubris temannya dan melompati anak tangga yang ada dua-dua, tidak mengatur napasnya sama sekali, dan terus bergerak ke atas. Lantai 3 ternyata cukup jauh untuk dicapai dengan cara begini, dan Abi menyadari hal itu dengan cara keras.

Cara keras, secara nyaris harfiah—saat Abi tiba di atas, dia lupa caranya bernapas.

Dia melirik ke arloji di pergelangannya—larinya ke atas makan waktu dua menit, yang berarti jika dia bisa mengambil kartu kuncinya dalam tiga puluh detik, dia akan terlambat berangkat lima menit ke arena tanding.

Lima menit—itu tiga ratus detik.

Abi mengerang sambil memompa kakinya lagi untuk segera berlari ke kamarnya.

318, 318—

Untungnya, Abi sudah menginap di hotel ini selama dua hari untuk city tour. Hari ini adalah hari pertama practice day yang akan dibarengi technical meeting, dan ini adalah kali pertama seumur hidupnya Abi lupa membawa kunci kamar hotelnya.

Abi tidak berpikir lagi saat masuk ke kamarnya yang gelap, segera menyambar kartu di tatakannya, dan keluar lagi—kali ini Abi memeriksa pintunya dan memastikan kamarnya sudah terkunci. Bagus. Berarti sekarang tinggal soal lari turun.

Atau mungkin ...?

Mata Abi mendarat di pintu lift di ujung koridor—angka indikatornya sedang menunjukkan 4, dan panahnya menunjuk ke bawah. Kedua kaki kurus Abi segera tersetrum listrik berkejutan tinggi dan membawa dirinya berlari menuju lift bahkan sebelum dia sadar apa yang sedang terjadi.

Jangan pergi dulu, jangan—

Ting.

Pintu lift terbuka persis ketika Abi tiba di depannya, dan sambil menghela napas lega, Abi melangkah masuk. Napasnya tersengal-sengal, dan di udara Shanghai musim gugur yang menggigit, ternyata keringat masih bisa menyelip keluar dari pori-porinya. Fakta bahwa dia sedang mengenakan jaket kontingen tidak banyak membantu, dan ini berhasil merebut perhatian dua orang lagi yang juga sedang menggunakan lift itu. Abi tersenyum sopan pada mereka sambil agak menunduk sedikit. Si pria tua yang tampak seperti seorang pengacara jahat memberinya anggukan sopan kembali, sementara si wanita muda Kaukasian dengan map biru di tangannya tidak menggubris Abi sama sekali.

Abi tidak peduli. Yang penting, sekarang lift ini segera tiba di lantai bawah.

Tidak ada yang menekan tombol lantai 2, dan ternyata tidak ada orang yang ingin menggunakan lift juga dari sana.

Ting.

Begitu pintu lift membuka, Abi segera mengambil langkah berjalan cepat menuju meja resepsionis. Bambang sudah menunggu di sana dengan wajah yang tidak tampak senang.

"Molor tiga menit," protesnya. "Ayo."

Itu seratus delapan puluh detik. "Bentar," jawab Abi, masih agak terengah-engah dari larinya tadi. Dia beralih ke resepsionis. "Room 318, Miss."

ReleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang