Aku terduduk diam disebelahnya yang tertidur pulas,
Menyelimuti tubuh indah itu dengan sehelai bed cover tebal, Ia menggeliat karena kehangatan yang tiba tiba saja membungkusnya.
Lengan mungilnya menarikku meminta untuk dipeluk.
Aku seperti kacung bayaran yang menuruti saja semua kehendaknya, Rasa sakit dan rasa bahagiaku sama besarnya.
Aku kira akan semudah itu meninggalkannya, Kukira akan sangat mudah, Tidak kusangka aku akan datang sendiri, Menyerahkan diri ini kepada penyihir cantik yang telah memakan jantungku dan membuatku tidak bisa lagi melepaskan diri darinya.
Aku tidak menyangka, Bahwa ketika ia memutuskan untuk meninggalkanku tanpa memberikanku pilihan kecuali menerima saja semua keputusannya,
Aku akan semudah ini menyerah tanpa perlawanan.
“Kita berpisah, Atau kau biarkan saja segalanya mengalir, Baik Aku maupun tunanganku,, Kehilanganmu akan sangat sakit, Tetapi kehilangan lelaki itu akan lebih menyakitkanku karena aku akan kehilangan keluargaku juga, Aku tidak bisa hidup tanpa mereka…”
Percuma saja, Kami sudah menyebrangi batas ini,
Tidak ada jalan kembali, Tidak akan pernah ada jalan kembali.
++
Kapan aku bertemu dengannya untuk pertama kali ? Aku lupa kapan tanggal tepatnya.
“Kamu sudah menyelesaikan game itu ?”
“Yah, Aku sudah,” Oke, Jawaban super singkat dan harus kuakui aku sedikit enggan. “Pacarku memintaku menyelesaikan ini untuknya, Apa aku punya pilihan ?”
Dia terlihat mengangguk angguk ringan.
“Keren,” Ia tersenyum, Melirik laptopku lebih lama. “Pacarku selalu menolak jika kuajak main game bersama,”
Ah, Ya, Pecundang lainnya ?
“Hobi yang bertolak belakang,” Komentarku singkat.
“Ah Dia juga suka game,” Ralatnya, “Hanya, Dia tidak suka Otome-game, Hahaha…”
Kupandangi ketika ia tersenyum,
Gadis ini memiliki susunan rahang yang lebar tetapi bibirnya mungil.
Alis nya yang lebat tampak sesuai untuk mata nya yang besar.
Kecantikan yang sederhana.
Tapi tetap saja aku tidak suka wanita sok akrab yang berdekatan denganku dan tiba tiba curhat.
‘Kamu selalu enak diajak curhat’. Aku teringat kalimat karib lamaku.
Kudengarkan ia mengoceh tentang game beberapa lama,
Sambil berkonsentrasi pada laptopku.
Lagipula tidak mungkin kan duduk diam saja tanpa bicara dengan orang yang duduk semeja dan minum kopi di sebelahmu, Terutama jika ia yang membuka percakapan.
Ah, Dan aku mengucapkan sampai jumpa,
Aku bosan.
Kutinggalkan kerumunan tempat nongkrong ku, Angkat kaki.
Aku akan melupakannya, Gadis biasa, Pikirku,
Seperti banyak gadis yang singgah dalam hidupku.
Semua sesederhana itu.
++
Ia memanggil namaku, Bukan, Bukan namaku sebenarnya,
Melainkan panggilan yang merupakan lelucon yang diberikan teman-teman untuk memanggilku.
Semua di kota kecil ini menyebutku itu,
Tahulah, Hal-hal kecil gampang menyebar, Kekuatan gosip ?
“Apa aku tidak apa memanggilmu begitu ?”
Ha ?
Aku menaikkan alis tanda tidak mengerti, Aku nyaris tidak mengenalinya lagi,
Gadis yang kemarin atau bukan ?
Dia sekarang terlihat lebih bersih, Maksudku, Yang kutemui kemarin,
Agak kucel.
Aku mentertawakan diriku sendiri.
Masalahku banyak. Aku datang kemari bukan tanpa sebab.
Aku benar benar… Butuh seseorang untuk kuajak bicara. Dan dialah saat ini yang ada disampingku.
Aku memilihnya secara Random.
Iseng, Mengajaknya bicara. Dan dia sepertinya tahu tentangku lebih banyak daripada yang aku sangka.
“Memangnya kenapa ?”
“Karena Juki bilang… Harus memanggilmu kakak, ” Bisiknya pelan, Mendekat ke telingaku. “Katanya harus sopan padamu.”
Juki adalah teman ngobrolku yang biasanya ada disini menemaniku,
Dia masih belasan, Aku rindu membayangkan dia memetik gitarnya. Sambil menyanyikan lagu lagu patah hati,
Rindu caranya membetulkan topi dan bau tembakau ditubuhnya yang tidak sepantasnya melekat pada anak semuda itu,
Juki tidak merokok, Dia hanya kebanyakan bergaul dengan perokok,
‘Tuntutan pergaulan’ Jawabnya tanpa beban, Seakan tidak merasakan stress sama sekali.
Kuakui, Dia memang orangnya supel.
Tapi sekarang dia kelihatan begitu sibuk dengan urusan entah apa,
Karena sudah sejak beberapa hari lalu, Aku tidak melihatnya ataupun jambulnya yang mirip seperti burung itu.
Aku tidak bisa memaksanya untuk menemaniku sementara ia memiliki banyak urusan lain, Bukan ?
Seperti aku peduli. Erangku dalam hati.
Bahkan orang yang mengatakan hal itu pun terkadang keceplosan memanggilku dengan nama kecil yang memalukan itu.
Namaku keren. Aku bangga dengan itu. Mereka membuatnya seperti lawakan.
“Aku tidak masalah dipanggil apa saja.” Tawaku hambar. “Aku benar-benar merasa buruk saat ini…”
Ia menatapku dalam-dalam.
“Kamu kenapa? ”
Aku melihat sekeliling, Mengalihkan perhatian dari keramaian menjemukan di sekitarku.
Untuk apa sih aku datang ketempat seperti ini sendirian ?
Hanya ada satu alasan kan ?
Aku ingin ditemani.
Saat ini, Siapapun orangnya boleh, Bapak tua tanpa nama, Gelandangan dengan satu tangan, Atau tante genit dengan bau parfum menguar,
Siapapun orangnya tidak masalah.
Asalkan dia mau mendengarkanku. Apalagi gadis sederhana dengan senyum lembut dan mata bulat ini. Aku cukup beruntung.
Perlahan aku menggeser tubuhku mendekatinya.
Mulai membisikinya semua kesedihan yang kurasakan...
++
KAMU SEDANG MEMBACA
Lily -I don't even know a milimeter of Romeo and Cinderella
Non-FictionSebuah novelet singkat yang diangkat dari Kisah nyata tentang sepasang kekasih yang tidak bisa bersatu, Melawan arus dalam perbedaan yang tidak bisa dijembatani yaitu 'keyakinan'. Judul dan sebagian quote diambil dari lagu spin off vocaloid, I don'...