Memutus Karma

875 58 16
                                    

Di sebuah ruangan yang tak begitu besar, dua orang tampak sedang terhanyut dalam sebuah cerita. Seorang bikkhu yang sudah lanjut usia sedang menuturkan sesuatu. Di hadapannya, seorang samanera terpekur merenungkan cerita yang barusan didengar.

"Anda membuat apa yang saya lihat menjadi semakin jelas," ucap remaja itu takjub. "Tapi Bikkhu Kepala, ada sesuatu yang masih membuat saya bingung."

"Apa yang membuatmu bingung?" tanya bikkhu lanjut usia itu, Bikkhu Kepala.

"Mengapa Rama begitu yakin bahwa dia akan mencelakai Prai? Saya percaya pada karma, tapi bukankah kita juga harus optimis dalam menjalani kehidupan?"

Bikkhu Kepala mendehem pelan. "Sesungguhnya ada rahasia yang disimpan Rama, yang tidak ia sampaikan kepada Prai. Sebab rahasia ini sebuah kenyataan yang sangat berat baginya." Bikkhu Kepala mencondongkan wajahnya sedikit ke depan. "Ada penyakit berbahaya yang terus menggerogoti tubuhnya. Dan itu juga berbahaya bagi orang lain."

Remaja dengan jubah bikkhu itu tercenung sedikit bergidik. "Penyakit yang bagaimanakah itu?"

Bikkhu Kepala mengatur napas sebentar, menyiapkan penjelasan yang sesimpatik mungkin. "Setelah ordinasi sementaranya usai, Rama mengikuti sebuah program pendonoran darah. Dari situlah darahnya diketahui telah terjangkit penyakit itu. Dia sangat terpukul dan sempat mengalami depresi. Akhirnya, dia sadar bahwa sakit yang dideritanya-dan semua visi yang dialaminya-mendorong dirinya untuk berani membuat sebuah keputusan besar: dia kembali ke biara ini, untuk menjadi bikkhu sepenuhnya."

Remaja itu tercengang mendengarnya. "Tapi, bagaimana dia bisa terjangkit penyakit itu?" selidiknya.

"Kepadaku, Rama mengaku tak pernah berhubungan seksual dengan siapa pun-meski dia memiliki kekasih. Kemungkinan besar penyakit itu disebabkan oleh infeksi jarum yang tidak steril saat dia berobat. Atau, bisa juga oleh penyebab lainnya yang kita tidak tahu."

"Dengan kondisi itu, dia tetap diterima di biara ini?"

Bikkhu Kepala terkekeh. "Nen, yang sakit adalah tubuhnya. Kita tak boleh menolak jiwa yang ingin mencari pencerahan."

"Meskipun sebenarnya itu hanyalah pelarian?" timpal remaja itu meragukan.

Bikkhu Kepala menggeleng, disertai senyum memperingatkan bahwa tidaklah baik berburuk sangka. "Latar belakang Rama memasuki biara ini sesungguhnya adalah persoalan pribadinya. Tetapi itu bisa menjadi sarana bagi proses kesadarannya, keyakinannya, dan penebusannya. Bisa jadi juga menjadi proses pencerahannya. Tak ada yang bisa menebak takdir seseorang-kita tak berhak menghakimi ataupun menghalangi."

Remaja itu merenungkan baik-baik pelajaran yang didengarnya. "Lalu, mengapa dia tak mengatakan saja kepada Prai soal penyakitnya itu?"

Bikkhu Kepala mengenang dengan wajah haru. "Itu berat dan rumit bagi Rama. Keluarganya ingin soal penyakitnya itu dirahasiakan dari siapa pun. Rama sendiri awalnya berharap Prai bisa melupakan dirinya. Tapi rupanya Prai tak bisa dicegah. Rama tak mengungkapkan soal penyakitnya, sebab dia tak ingin Prai menilai jalan ke-bikkhu-annya berdasarkan prasangka yang keliru. Rama memang merasa sudah 'kotor', tapi ia menjadi bikkhu bukan semata-mata untuk pelarian, melainkan untuk tujuan yang lebih besar. Rama yakin tentang karma masa lalunya, dan tak ada tempat untuk berlari darinya. Satu-satunya jalan hanyalah menebusnya. Itulah yang ingin dia tandaskan ketika mengajak Prai menziarahi jejak-jejak masa lalunya.

"Rama meninggal dalam kecelakaan di jembatan itu. Kepalanya terluka parah. Meskipun keadaan Prai juga cukup parah, dia selamat. Akulah yang menjelaskan padanya tentang penyakit yang diderita Rama. Barulah Prai betul-betul mengerti bahwa Rama melakukan semua itu benar-benar demi kebaikan keduanya. Setelah memahami semua itu, Prai memutuskan untuk masuk biara, mengikuti jejak Rama.

PILGRIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang