Karma Itu Datang Kembali

793 60 10
                                    

Kehidupan di jantung Desa Tham lebih ramai dibandingkan desa-desa tetangganya. Pasar di desa itu menjadi tempat para petani dan nelayan sungai menjual hasil pencahariannya; tak hanya pedagang dari Desa Tham, yang dari desa-desa tetangga juga melimpah di tempat itu. Beberapa tahun sebelumnya, Desa Nok lebih ramai dari Desa Tham. Desa Nok sudah lama memiliki jembatan untuk menyeberangi Sungai Yom, tetapi kini jembatan itu sudah usang. Sedangkan jembatan di Desa Tham masih baru dan lebih besar; hilir mudik manusia menjadi semakin ramai di desa ini, menggeser keramaian Desa Nok.

Dari pasar Tham, Rama mengajak Prai menuju ke Nok. Untuk itu mereka harus memakai jasa tuktuk, mobil trasportasi rakyat yang tarifnya terjangkau. Mereka tak bisa menggunakan jasa perahu, sebab sudah tak ada perahu penumpang yang menuju ke Nok sejak lama. Dibangunnya jembatan di desa Nok telah menggerus aktivitas dermaga-dermaganya, tukang perahu pun banyak yang beralih pekerjaan menjadi sopir tuktuk. Sedangkan Tham jembatannya masih baru, dermaga di beberapa titik masih dipakai untuk naik-turun pengguna jasa perahu-dalam beberapa tahun ke depan mungkin juga akan bernasib sama seperti dermaga-dermaga di Nok.

"Ke jembatan lama," kata Rama, menyebutkan tujuannya kepada sopir tuktuk. Kendaraan itu pun melaju dengan mesin berisiknya. Dapat di lihat di kanan-kiri jalan, padi-padi seperti selendang hijau yang menghias wajah desa dengan permai. Di beberapa titik,chedi-chedi tua menjulang; saksi jaman, saksi kejayaan Sukhothai, saksi kehidupan yang terus berputar dalam pergulatan takdir.

"Kalian mau menyeberang lewat jembatan lama?" sopir tuktuk membuka sekadar percakapan. "Jembatan itu sudah usang, sudah tidak aman lagi."

"Kami tak hendak menyeberang. Hanya singgah saja," jelas Rama.

Sopir tuktuk memanggut paham. Beberapa menit kemudian kendaraan itu menepi, berhenti di mulut sebuah pertigaan jalan. "Hanya bisa sampai di sini saja. Untuk ke jembatan itu jalannya sudah cukup rusak, kasihan mesinku," kata sopir tuktuk.

Rama dan Prai turun. Prai menyodorkan uangnya lebih dulu kepada sopir tuktuk seraya mengucap, "Terima kasih." Lalu dia beralih menatap Rama, sekilas saja seraya menyindir, "Bikkhu tidak banyak uang, bukan?"

"Terima kasih," balas Rama singkat, dan segera meneruskan perjalanan-jalan kaki lagi.

Mereka melewati perkampungan yang tampak lengang siang itu; sebuah permukiman yang didominasi rumah-rumah kayu khas desa. Lalu mereka tiba di bagian ujung dari jalan itu, diapit areal ladang yang berbatasan dengan sungai. Sebuah jembatan tua dari kayu terbentang di sana, di atas Sungai Yom.

Rama menghentikan langkahnya di mulut jembatan. Kali ini, dia benar-benar akan menjelaskan semuanya. Prai di hadapannya, akan mendengar apa pun yang diceritakan Rama, terlepas itu akan membuatnya puas ataupun tidak.

"Begitu lulus dari Matthayom, orang tuaku menganjurkanku untuk mengikuti ordinasi di biara," Rama memulai ceritanya. "Begitulah tradisi kita; setidaknya satu kali dalam hidup, kita pernah menjalani hidup di biara untuk mengharap berbagai kebaikan. Demi sekadar mengikuti tradisi, mulanya aku bermaksud tinggal di biara hanya untuk sementara. Setelah masa ordinasi berakhir, aku berencana akan memenuhi janjiku padamu, yaitu menyusul ke Bangkok dan kuliah di sana."

Prai sedikit bisa menebak kelanjutannya, maka dia mendului dengan satu kata: "Tapi...?"

"Aku mengalami banyak kejadian selama di biara, Prai," sambung Rama. "Aku memilih Biara Maha Paritta setelah membaca sejarahnya yang panjang, dan entah mengapa aku sangat tertarik dengannya. Padahal itu jauh dari rumah. Kurasa, takdir memang telah menarikku."

"Kejadian apa yang membuatmu jadi sedemikian yakin?"

"Di biara itu, aku mendapatkan banyak visi tentang masa lalu, Prai."

PILGRIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang