Let Go

950 35 6
                                    

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

'Ya Muqollibal Quluubi Tsabbit Qolbiy 'Alaa Diinika'.

"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu." 

****

Angin pagi menyibak kerudungku yang belakangan ini kupakai untuk menjalankan peraturan sekolah yang berlaku, sedari tadi laki-laki yang berada didepanku fokus mengendarai motornya. Entah apa yang membuatku senyum-senyum sendiri, rasanya pagi ini sangat spesial. Mungkin karena aku dijemput oleh seorang cowo yang manis dan sedikit lagi aku menyentuh kata "suka" bisa jadi akan cinta. Memang sudah 2 minggu ini dia mengantar jemputku sampai papah yang melarangku untuk menjadi objek boncengannya menjadi sangat ketir. Belakangan ini banyak berita kecelakaan sepeda motor, maka dari itu papah sangat khawatir. Terlihat dari raut wajahnya saat aku berpamitan, wajahnya seperti tidak merestuiku pergi dengan "motor"nya bukan orangnya.

Pagi tadi papah menyuruhku untuk pergi mengendarai mobil tapi aku berasalan bahwa aku malas mengendarainya. Namun papah tidak patah semangat, ia kembali menawariku untuk mengantarku tapi aku tolak karena alasan aku malas pulang naik angkutan umum. Sebenarnya sih alasan yang paling tepat adalah aku ingin berangkat dengan Kemal. Ya ampun papah sangat overprotective sekali. Memang sebagai anak perempuan satu-satunya jadi wajar aku selalu diperlakukan layaknya ratu, ya tapi kadang aku juga sering diduakan oleh pekerjaannya. Selama ini sih aku masih berpikir positif bahwa papah sibuk bekerja demi memberi nafkah keluarganya. 

"Kei kamu udah sarapan belum?" Kemal menghentikan lamunanku.

Aku menggeleng.

"Yaudah kita sarapan dulu yuk ntar kamu sakit loh." Aku mengusap layar handphone ku untuk mengecek jam.

"Kayanya gausah deh, ini udah jam 6.40. 5 menit lagi gerbang ditutup."

"Tapi kamu ga laper kan? Gini aja deh aku beli sarapan bentar doang ko. Ntar makannya dikelas. Gimana?"

"Hm... Kayanya gausah deh. Lagian aku juga ga laper ko." Aku berbohong. Padahal sekarang aku sangat lapar karena semalam aku tidak makan malam karena ingin diet.

"Yakin?"

"Yakin mal."

"Oke ntar kita ke kantin yah beli sarapan. Aku takut ntar kamu sakit." Dia menghela nafas dibalik helm full face nya. 

"Iya Kemal, yuk ngebut ntar telat lagi udah tau si Ismet yang jaga. Dia kan ga ada toleransi waktu." jawabku sinis.

Ia langsung mempercepat laju motornya. Kini angin dingin mulai menembus seragam putihku, karena pagi tadi aku disibukkan untuk mencari alasan agar papah tidak mengantarku jadi aku lupa memakai jaket. Untung saja aku tidak lupa memakai helm, jika tidak rute yang akan kami tempuh akan jauh. Sedari tadi aku menggigit bibir karena sudah tak kuat menahan dinginnya angin pagi, ditambah saat ini kami melewati hutan kota yang rimbun dengan pepohonan.

Tiba-tiba ia memperlambat laju motornya, kemudian ia memberhentikan motornya dipinggir jalan. Dia turun dari motornya, sontak aku kaget aku tak tahu apa yang akan dia lakukan. Ia melepas jaketnya kemudian ia memberikan jaket itu.

"Ini pake. Aku tau dari tadi kamu kedinginan, belum sarapan ditambah kena angin pagi ntar kamu masuk angin." Aku mengangguk, matanya yang mengumpat dibalik kacamata menyimpulkan sosok laki-laki penyayang. Astaga pikiranku sudah mulai dipenuhi oleh sosoknya. 

Didalam helm full face nya ia tersenyum dan menampilkan lesung pipinya. Astaga indah sekali, manis sekali dia.

Perutku sudah mulai perih karena sedari tadi belum kuisi dengan sarapan. Awalnya aku ingin menahannya hingga istirahat nanti tapi Erin menawari untuk mabal pelajaran dan mengisi perut dikantin. Sudah tentu aku menolaknya karena senakal-nakalnya diriku aku tidak akan meninggalkan kewajibanku sebagai pelajar.

The Great DecisionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang