3.5

1.3K 81 16
                                    

Sehun POV

Teng.

Sudah jam 11 ternyata. Sungguh sunyi berada di apartemen ini sendiri malam-malam. Ditambah hawa yang dingin ini, lengkap sudah suasana yang mengerikan. Sebenarnya aku takut, namun apa boleh buat, setan Kim itu tiba-tiba ingin datang berkunjung. Apa dia tidak lihat jam? Tamu kurang sopan.

Kudengar pintu diketuk tidak lama kemudian. Aku beranjak dari sofaku lalu segera mengintip di balik tirai untuk melihat siapa yang datang. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sosok itu mengenakan jaket hitam dan celana panjang. Selain itu, aku tidak tahu.

"Sehun" Panggil suara itu pelan. "Cepat bukakan pintunya sebelum aku dimakan zombie"

Ah benar, Kim Jongin.

Aku membuka pintu rumahku lalu melihatnya dengan tatapan nanar. 

"Kau mempersilakan aku masuk atau tidak?" Tanyanya tetapi sebelum aku menjawab, ia terlebih dahulu sudah berjalan memasuki apartemen. Aku mendengus kesal sebelum menutup pintu kembali.

Jongin segera duduk di sofa. Ia mengusapkan tangannya berkali-kali. Ah, memang sedang dingin sekali.

Aku duduk di samping Jongin. Sedikit awkward, eh? Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Bagaimana aku bisa mempersilakan lelaki yang baru aku kenal ke apartemen? Bagaimana jika dia nanti macam-macam denganku? 

Kuusir pikiran negatif itu, berusaha mencari topik pembicaraan agar suasana di ruang ini menghangat.

"Kau kedinginan? Mau kubuatkan coklat panas?" Tanyaku tanpa melihatnya. Aku seseorang yang tidak mampu melihat ke dalam mata orang lain. Maksudku, aku bisa gugup jika menatapnya terlalu lama. Bukan ke Jongin saja tentunya, ke semua orang.

"Ah ya" Jawabnya. Aku segera berjalan ke dapur yang berseberangan dengan ruang itu. Coklat panas juga merupakan minuman favoritku. Jadi aku menyiapkan dua gelas dan mulai meracik. Jongin diam tak berbicara sejak tadi. Mungkin ia sedang kagum dengan apartemenku? Ah tidak, apartemenku sangat minimalis. Untuk apa dikagumi.

Aku menyajikan coklat panas, meletakkan dua gelas mug sekalian di atas meja. 

"Ini dia, tuan" Ujarku dengan nada yang diserupakan seperti pelayan lalu duduk di sofa menemani Jongin. Lelaki itu ikut berdiri untuk mengambil jatahnya lalu duduk. Tatapannya masih saja kosong sejak tadi.

Dia menolehkan kepalanya menghadapku, membuka mulutnya sedikit hendak berbicara, namun kemudian menggelengkan kepalanya. Aku yang melihatnya hanya tertawa kecil. Suasana memang harus segera dibenahi. Apa harus aku dahulu yang membuka pembicaraan? Tetapi tadi Jongin yang memutuskan ingin mengunjungi apartemenku. Membingungkan.

"Sehun" Panggilnya kemudian. Aku bahkan belum mengatakan sesuatu, dia sudah berbicara terlebih dahulu.

"Kau punya sesuatu untuk dimainkan? eh- playstation misalnya?"Tanyanya, mengamati meja di bawah tempat tv diletakkan.Aku tergelak.

"Ahaha.. Aku bermain sepanjang hari" Tawaku sedikit dipaksakan. Tidak lucu bukan jika ia ingin ke sini hanya untuk bermain ps. Jadi aku mulai mengalihkan topik, mengajaknya untuk sedikit berbagi cerita, mengenalnya lebih jauh, dan sedikit bertanya tentang kehidupannya. Bukan usaha yang sia-sia. Malam yang panjang itu kami lewati dengan tawa dan senyuman. Kami saling nyaman satu sama lain.

JDAR

Petir menggelegar di luar sana menyambar sesuatu. Aku bergidik ngeri. Aku memang seorang astraphobia. Telingaku segera kututup rapat. Kupejamkan mataku agar tidak bisa melihat kilat-kilat yang saling bersahutan. Jongin menyadarinya. Ia segera merengkuhku ke dalam pelukannya.

"Sehun-" Ia mengelus punggungku. "Aku disini. Kau jangan takut"

Nyaman. Baru kali ini kurasakan nyaman saat dipeluk seseorang. Aku tidak mengerti mengapa. Mungkin ini faktor karena sedang ada petir bersambaran yang harus aku hindari atau apa sehingga aku merasa nyaman saat orang memelukku. Aku tak ingin dilepasnya. Rasa nyaman ini ingin kumiliki. Terus.

"Jongin, kau mau menginap di sini? Ini sudah gelap lagipula di luar hujan deras" Ujarku. Shit, dimana akalku? Jongin ini orang yang baru saja kau temui, Sehun.

Lelaki berkulit tan itu mengelus-elus rambutku lalu berbisik, "Bilang saja kau tidak ingin kulepaskan"

Ia terkekeh pelan. Dapat kurasakan pipiku menghangat. Ah sialan. 

"Aku tidak takut akan petir jadi kau bisa lepaskan aku sekarang" Aku melepas pelukanku yang sebenarnya tidak ingin aku sudahi. Harga diri jauh lebih penting.

JDAR

Aku berlari ke arah kamarku cepat. Aku tidak tau, hanya saja ingin berlindung. Suara petir begitu mengusik diriku. Bahkan kilatannya, aku benci itu semua. Tidak peduli aku meninggalkan Jongin yang terduduk heran di sofa.

Aku mengambil selimutku cepat lalu segera menutupi seluruh badanku dengan selimut sesudah aku membaringkan diriku sepenuhnya di kasur. Kututup mataku dan telingaku rapat-rapat. Bagaimana jika suatu waktu aku tersambar petir? Ah, nightmare.

"Kau bilang tidak takut?" Suara samar terdengar di telingaku. Aku membuka mataku sedikit dan menemukan Jongin yang sedang duduk di pinggir ranjang. Sejak kapan dia di situ? God dammit.

Aku menutup mataku lagi. Persetan dengan Jongin. Aku lebih baik bersembunyi dari petir daripada meladeni omongannya yang tidak penting itu. Sesudah itu, aku memutuskan untuk menutup mataku kembali.

Badanku merasakan sesuatu yang berat sedang berada di sampingku. Tentu saja itu Jongin. Siapa lagi yang berada di sini? Aku membiarkannya melakukan apa yang dia suka. Toh, tadi aku sudah menyuruhnya untuk bermalam di kediamanku. Tidak lama, Jongin bergerak. Aku tidak bisa melihat pasti kemana dia menghadap. Namun, deru nafasnya yang hangat, mengenai kulit wajahku yang sensitif. Aku menelan ludahku kasar dan setelah itu kudengar Jongin terkikik. Sesuatu yang panjang kurasakan melingkar di pinggangku. 

"Bisa berbagi selimut?" Tanyanya sedikit menarik selimut yang aku pakai. Aku yang mau-tidak mau itu lalu membiarkannya menarik selimut. Ia menutupi badannya dengan selimut itu juga, lalu kembali merengkuhkan tangannya di pinggangku. Bisa kurasakan Jongin memperkecil jarak di antara kami dari nafasnya yang semakin hangat. Jantungku berdegup semakin tak karuan. Aku bertaruh jika hari ini tidak hujan, Jongin pasti bisa mendengarnya dengan jelas.

Ia mengecup keningku. Entahlah apa artinya itu, namun kelihatannya tubuhku menyukainya. Pipiku memanas, lebih panas dari sebelumnya, dan jantungku semakin berpacu. Aku tidak berani membuka mataku. Hanya diam, dan menikmati apa yang bisa kurasakan sekarang ini.










Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 22, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang