Entah mengapa ini bukan tentang memerahkan langit soreku lagi. Bukan hanya sekedar pertentangan antara lebih kuat mana antara merah dan kuning di relungan jingga. Ini lebih klasik dan sedikit lebih rumit. Waktu telah berdentang lebih dari enam kali. Sebuah babak baru yang belum ku ketahui pasti sedang bergulir di jalanku. Tidak, aku tak akan membahas dinginnya yang asing ataupun gelapnya yang pekat kelam. Aku ingin membicarakannya, si pemegang lentera yang baik hati, begitu aku menyebutnya. Dan akan aku sebut begitu untuk seterusnya.
Mungkin bodoh untuk dengan mudah mempercayainya memandu perjalananku, atau kau juga bisa menyebutku penakut karena tak bisa menyelesaikan sendiri perjalananku. Tetapi aku membutuhkannya, membutuhkan lenteranya yang meski kadang kala apinya hanya berupa pijar lemah yang akan segera mati apabila terkena desah nafasmu sekalipun. Aku juga membutuhkan genggaman tangannya yang hangat, meskipun sesekali genggaman itu tak hangat sama sekali. Tapi tak apa, kami bisa saling berbagi kehangatan melalui ruas-ruas jari dan spasi kosong antara jari-jari kami.
Kau bisa bertanya padanya, pada si pemegang lentera yang baik hati, mengapa ia memperbolehkanku menggenggam tangannya. atau mengapa ia merelakan cahaya dalam lenteranya untuk menerangi jalan orang asing yang bisa saja membuatnya tersesat dari jalannya sendiri. Karena sejujurnya aku memiliki banyak pertanyaan yang belum sempat ku utarakan. Semakin jauh tapak kaki kami di jalan yang hanya diterangi oleh lenteranya, semakin aku tahu bahwa aku belum begitu baik dalam mengenalnya.
Lalu aku mengetahui bahwa perjalanannya tak cukup panjang daripada perjalananku sendiri. Ia yang mengatakannya padaku. Si pemegang lentera berkata bahwa perjalanannya akan segera berakhir. Sebagian dalam diriku terkoyak, entah dalam hal apa tetapi aku tak menginginkannya. Sebut saja aku egois atau ungkapan terkasarpun tak dapat mengubah pandanganku sama sekali.
Aku takut.
Aku takut dinginnya akan lebih mencekam jika ia tak lagi ada di sisiku
Aku takut gelapnya semakin membutakanku dan mengacaukan perjalananku
Aku takut ketika nantinya ia telah mengakhiri perjalanannya ia akan meninggalkanku
Aku takut membayangkan bahwa nantinya aku akan berjalan tanpa genggamannya
Aku takut ketika nantinya ia hanya akan melihatku dari kejauhan
Dan yang paling ku takutkan
Adalah suatu saat nanti ia akan mulai berhenti bertanya apakah aku telah sampai di tujuanku atau tidak
Ia akan mulai berhenti untuk mengkhawatirkanku apakah aku mengambil jalan yang benar atau tidak di setiap persimpangan yang aku temui
Ia akan mulai berhenti untuk memikirkanku atau mulai menghilangkan namaku perlahan dari segalanya
Kau tertawa bukan...? Karena aku tampak seperti bukan diriku sendiri. Ya aku juga mempertanyakannya, tentang seberapa parah si pemegang lentera mempengaruhi hidupku. Padahal ia hanya berbagi lenteranya. Ia hanya seorang asing yang menemaniku sejenak di perjalananku. Tapi cukup dengan itu aku terpengaruh olehnya. Cukup dengan itu dan aku tersihir masuk ke dalam mantranya.
Sekali lagi si pemegang lentera tersenyum ke arahku dan kembali menggenggam tanganku. Hangat. Dan kini tanganku yang gemetar karena kedinginan. Ia berbisik dan berusaha untuk menenangkanku. Tanganku kembali hangat dan tubuhku tak lagi gemetar ketakutan. Si pemegang lentera berkata bahwa tak seharusnya aku memikirkan hal-hal yang buruk terus menerus. Karena itu hanya akan membuatnya dan aku terhenti sejenak dan melupakan tujuan kami.
Aku mulai terisak dan mencari sebuah perlindungan. Bibirku terlalu kelu untuk mengatakan dan menceritakan semua ketakutanku padanya. Aku tak ingin terlihat seperti anak kecil berusia tiga tahun yang takut ibunya tak akan kembali dari dapur. Aku tak ingin membuatnya melihatku sebagai beban yang akan menghalanginya untuk sampai di tujuannya. Karena itu untuk kali in aku diam, aku mengalah. Aku mempercayainya. Sekali lagi. Karena kelima jari yang kini saling bertautan dengan jariku itu maih terasa nyata di genggamanku. Dia masih ada di sini. Si pemegang lentera dengan apinya yang bergerak lemah masih berada di sampingku. Dan aku bersyukur karenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Paint
PoetryCuma seorang yang hobi berkhayal. Lebih suka mainin kata dibanding mainin perasaan orang.