Malam-Malam Tuan Pendiam dan Sang Bulan

179 10 1
                                    

Ditulis oleh          : Novia R. D. M. Santoso

Story based on   : Payung Teduh - Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan

Ding dong, ding dong.

Langit menggelap, hitam pekat mewarnai sang dirgantara yang tampak megah di singgasananya, bermahkotakan Purnama yang sinar kuning-emasnya meradiasi Bumi yang lelah. Indah, pikirku. Namun ada yang lain dari mahkota itu—sinarnya tetap terang, namun mencerminkan kesepian; seperti memakai kemeja kesayangan yang satu kancingnya hilang. Barulah semenit kemudian aku sadari bahwa kepingan-kepingan bintang tidak ada di sana. Wahai Bulan, sungguh kasihan, mari kita sama-sama kesepian.

Aku merengut dan mengalihkan pandanganku kepada rumah di seberang jalan, sempat-sempatnya menangkap tanganmu yang menarik gorden merah di kamarmu—hei, bukankah kemarin warnanya masih biru?—sebelum kemudian, dari ventilasi kamarmu aku tahu kau mematikan lampu. Aku ingin tahu, piyama bermotif apa yang kau pakai malam ini? Daster ataukah setelan? Atau mungkin kau memakai setelan yang sangat kau sukai: yang berwarna merah muda dan bergambarkan wajah kelinci. Aku kembali menatap langit. Ah, Bulan. Pikiran-pikiran ini mengganggu, bukan?

Aku menunggu sampai satu jam kemudian, sampai kedua tangan jam telah lelah berputar dan berhenti di angka tiga, menggerutu diam-diam karena aku masih belum memejam: tik tok tik tok tik tok, tidurlah, makhluk kesepian! Aku melirik kasur yang tersenyum kasihan kepadaku, bantal-gulingku merasa iba. Kakiku menyeret dirinya sendiri ke kasur yang menyambut dengan hangat—aku baru sadar bahwa sedari tadi aku kedinginan, kasurku menyedot diriku lebih dalam seakan berkata: tidak apa, tidak apa.


Ini bukan lagi rahasia: aku hidup untuk malam-malam di mana kau terjaga sampai sang Mentari menyala. Di mana korden kamarmu kaubiarkan terbuka dan lampu kamarmu menyala dan kau duduk di samping jendela, menghadap layar komputer dengan rambut dikonde dan kepalamu mengangguk-angguk mengikuti ritme. Aku hidup untuk malam-malam di mana aku harus menyingkap korden kamarku sedikit dan membiarkan kamarku gelap dan mendekap guling dengan angan-angan dan pertanyaan: apakah malam ini kau akan berganti pakaian dengan gorden terbuka? Karena kau seceroboh itu dan aku setidaksenonoh itu. Aku hidup untuk malam-malam di mana pandangan kita bertemu di garis yang sama ketika kau dan aku sama-sama hendak menarik gorden dan aku akan tersipu dan kau akan mengangguk malu-malu. Aku hidup untuk malam-malam di mana sang Bulan bersinar sedikit lebih redup seakan hendak menyusul perginya bintang-bintang karena malu pada parasmu yang mampu membuat bunga menguncup dan untuk malam-malam yang kuhabiskan dengan rindu yang semakin cemas kepadamu, enyahlah.

Broken ChordWhere stories live. Discover now