Oleh : Angga Danu Fadil Irawan
Story based on : Ed sheeran - Photograph
Interlude :
Insomnia. Mungkin memang sudah menjadi kebiasaan gue. Entah kebiasaan dia juga di sana, bisa jadi sih. Membayangkan yang sudah-sudah, menjadi satu-satunya alasan mengapa tengah malam memiliki kenikmatan sendiri. Kehangatan. Sendiri. Sekurang-kurangnya bisa jadi ada jutaan pesan, baik di gadget yang satu, atau gadget lainnya. Baik yang dibalas, maupun yang tak sempat dia balas. Dengan alasan dia ketiduran, kehabisan pulsa, atau kuota hingga akhirnya tak ada alasan lagi untuk membalas pesan yang menurutnya omong kosong itu. Dan kabar baiknya, jutaan pesan itu masih tersimpan rapi di setiap gadget yang gue punya.
Bukan cuma pesan ternyata. Kabar yang lebih baik lagi, ada ribuan panggilan terjawab bahkan yang tidak sempat dia jawab. Serta ribuan menit waktu serta pulsa yang gue habiskan untuk meminang, membahagiakan, mengkhawatirkan, menanyakan kabar, bercanda ria, dan menenangkannya, menjadi satu-satunya alasan mengapa gue harus membeli handphone pada masa gue masih berada di sekolah menengah pertama. Ya, pada saat pernyataan "Bahagia itu mudah" masih berlaku adanya. Sebab, untuk bahagia pada masa itu sangatlah mudah. Menerima pesan darinya, gurauan manis jari-jarinya, serta ucapan-ucapan manisnya, selalu berhasil membuat tidur gue nyenyak.
+6285344149xxx : "Selamat pagi, honey. Aku mimpi kamu loh. Kamu mimpi aku engga?"
Kutipan di atas memang seperti itu adanya. Tanpa dibuat-buat. Karena memang seperti itu kenyataannya. Hanya saja, sekarang gue sudah memahami penggunaan capslock serta pemakaian huruf kapital yang benar dan masuk akal.
Mengirimkan pesan seperti itu tiap pagi menjadi rutinitas harian gue. Meskipun kata-katanya sedikit di filter karena mengandung childish advisory. Tapi, itu bukan omong kosong yang berguna untuk membahagiakannya. Gue benar-benar memimpikannya. Anehnya, mimpi itu sangatlah nyata. Gue mimpi SMS-an dengannya. Dan saat itu juga gue tau apa artinya mimpi basah. Namun, gue merasa bangga dengan setiap pesan yang gue kirim ke dia. Karena sekarang gue yakin, akan ada yang lebih manis mengirim pesan tiap pagi ke handphone dia dan pastinya lebih ekstrem—ngetik sms-nya sambil paralayang. Dan satu lagi keanehan yang terjawab. Gue pun gak heran lagi mengapa buku "Alay for Dummies" laku keras di toko buku serta di internet, dan diletakkan berdampingan dengan buku "Aljabar for Dummies" di rak suatu toko buku. Miris.
"You gave me butterflies at the mailbox."
***
Bridge : "School, Handphone with Puberty Greetings"
Berbicara tentang masa SMP, sulit halnya melepaskan segala macam tuntutan kealayan yang berlaku pada masa itu. Ibaratnya itu sebagai norma. Nah, kebetulan gue belajar mengenai norma-norma di pelajaran Kewarganegaraan. Karena pemahaman norma sangat berbanding lurus dengan terminologi alay, spekulasi mengenai kealayan menurut gue adalah sebagai berikut:
"Segala sesuatu tindak perbuatan atau tingkah laku yang berlaku terhadap sekelompok manusia tertentu yang turun-temurun serta menciptakan kebudayaan baru, values, dan pandangan terhadap perspektifitas yang sedikit dilebih-lebihkan."
Banyak penyebab mengapa budaya alay merusak bonus demografi bangsa Indonesia. Bukan hanya merusak pola pikir anak bangsa, tapi merusak pola tingkah laku orang tua terhadap anaknya. Instrumen pendukung semakin merambahnya budaya alay adalah terciptanya suatu alat yang bernama handphone atau bisa disebut telepon genggam.
Eksistensi handphone pada masa itu berbanding lurus dengan popularitas suatu kaum di lingkungannya. Semakin canggih handphone yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin tinggi kasta pergaulan orang tersebut.
YOU ARE READING
Broken Chord
RandomHello, Sobat KOMA! KOMAwriters proudly present our 3rd project. Project KOMA kali ini adalah hasil dari tulisan-tulisan cerita pendek penulis KOMA yang menggunakan lirik dan alunan lagu sebagai dasar dari ide cerita yang kami tulis. Berbeda dengan s...