oleh : Ravina AuliaStory based on : Payung Teduh - Untuk Wanita yang Sedang dalam Pelukan
Dia menggandeng tanganku, membimbingku melewati genangan air yang cukup lebar sisa hujan sore tadi. Sesekali pandangan kami bertemu dan ia melemparkan senyum kecil padaku yang aku balas dengan senyum manis.
Jalanan desa tidak terlalu sepi malam ini karena penduduk desa—yang kebanyakan muda-mudi—berjalan menuju tempat yang sama dengan kami berdua; pasar malam. Mungkin karena kurangnya hiburan ditambah pemilik televisi di desa ini hanya beberapa yang memiliki harta berlebih membuat orang-orang ini lebih memilih pasar malam sebagai hiburan murah meriah.
Pasar malam yang akan kami datangi sudah sangat dekat. Antusiasme pengunjung wahana dan pembeli jajanan bercampur menjadi satu di telingaku, menghasilkan suara yang tidak jelas. Kami berjalan memasuki pasar malam masih dengan tangan bertautan erat. Sesekali ia merangkul pundakku saat melewati keramaian dan berdesak-desakan dengan pengunjung yang lainnya. Aku tak merasa risih sedikit pun dengan semua perlakuannya, sebaliknya aku merasa nyaman dan bahagia. Padahal aku tahu pasti, semua ini salah.
Malam semakin larut, namun pengunjung pasar malam ini terlihat semakin bertambah. Kami masih saling bertukar senyum dan kebahagiaan setelah mencoba wahana komidi putar dan beberapa permainan lain.
Aku bisa menangkap rasa rindu yang berusaha ia sampaikan lewat mata dan genggaman tangan kami yang sangat erat. Jujur, aku pun merasakan hal yang sama. Memang tidak seharusnya aku merasakan ini. Tapi... aku merindukannya. Sangat merindukannya.
Setelah tiga bulan berpisah karena kesibukannya, kini aku menuntut waktu kebersamaan kami. Awalnya ia menolak dan ingin menyudahi hubungan ini. Tapi aku bersikeras untuk terus melanjutkan semuanya. Tak peduli apa pun akibatnya nanti, aku ingin terus berada di sampingnya, menjadi pendamping hidupnya kelak.
Tawanya terdengar setelah aku membisikan sesuatu yang lucu padanya. Mata kami memandangi komidi putar yang semakin dipadati pengunjung terutama anak-anak. Sesekali aku tersenyum melihat kebahagiaan anak-anak yang menunggangi kuda-kudaan itu. Ditemani suara musik dangdut dan kemeriahan para pria yang bergoyang mengikuti alunan musik, tangan kami masih saling bertaut erat tanpa ada salah satu dari kami yang berniat melepaskannya.
"Arum manis?" Ia menggoyangkan tanganku yang ada di genggamannya untuk menarik perhatianku.
"Ah, boleh. Tapi satu berdua, ya? Aku nggak sanggup habisin sendiri." Aku sedikit berteriak untuk mengalahkan suara musik dangdut yang sangat keras.
Dia tersenyum dan mengangguk mendengar jawabanku. Kami melangkah menuju pedagang arum manis yang meletakkan peralatan berdagangnya di atas sebuah sepeda ontel. Dia memesan satu buah arum manis berukuran cukup besar untuk kami berdua. Salah satu tangannya kini sudah berpindah memeluk pinggangku mesra. Aku meletakkan kepala di bahunya masih sambil memperhatikan penjual arum manis yang sedang membuatkan pesanan kami. Sesekali ia mengecup puncak kepalaku dengan cepat dan menimbulkan sensasi bahagia dalam diriku.
"Rindani . . ."
Musik dangdut mendadak berhenti saat aku menoleh untuk melihat orang yang menyebut namaku. Jantungku nyaris merosot dari tempatnya saat menyadari orang tersebut. Bagaimana mungkin, Tuhan? Dari sekian banyak tempat di muka bumi ini, mengapa harus di sini? Aku belum siap untuk menjelaskan semua ini padanya. Aku belum siap melihat luka dan kemarahan di mata hitam yang selalu menatapku dengan penuh kelembutan itu.
"Brah-ma . . ." Aku mengucapkan namanya dengan terbata-bata karena lidah yang mendadak kelu. Rasa gugup dan cemas menghantui diriku. Tubuhku gemetar namun aku tak berusaha menutupinya. Tak jauh berbeda denganku, Brahma juga gemetar dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuh dan rahang yang terkatup. Aku tahu ia sedang menekan emosinya.
"Jadi . . ." Brahma menelan ludahnya. "Dia yang belakangan ini kamu sebut sepupu? Sepupu yang selalu mengajakmu pergi di saat aku ingin menemuimu?" Dia tertawa sumbang sebelum melanjutkan kalimatnya dengan dingin, "aku baru tahu kalau sepupu harus saling merangkul mesra satu sama lain. Ternyata aku belum mengenalmu, Rindani."
Salah satu sudut bibir Brahma tertarik ke atas, membentuk senyum sinis. Sementara aku hanya bisa diam mendengar kalimat penghakimannya, karena memang tidak ada yang bisa aku katakan untuk menyangkal maupun mengelak. Brahma sudah melihat semuanya. Bukti-bukti ketidaksetiaanku padanya telah ia lihat dengan matanya sendiri.
Dan hal yang aku takutkan sejak beberapa menit lalu terjadi. Mata itu, mata yang selalu menatapku dengan sorot kasih sayang kini berubah. Pandangannya penuh dengan luka, amarah, dan... kecewa? Oh, kumohon, Brahma, jangan berikan aku tatapan kekecewaan itu. Aku memang tak pantas untuk mendapatkan semua kasih sayangmu.
"Kurasa kita cukup sampai di sini, Rindani. Anggap saja hubungan kita selama ini tidak pernah ada. Dan tentang rencana pernikahan kita... aku batalkan. Selamat bersenang-senang."
Hatiku hancur mendengar ucapannya.
Punggung itu membelakangiku dan menjauh dengan langkah pasti. Aku merasakan air mata mengalir di kedua pipiku dengan sombong ketika pria yang sejak tadi hanya diam memperhatikanku dan Brahma memelukku dari belakang. Oh, Tuhan, pantaskah aku menangisinya? Padahal kami sama-sama tahu bahwa akulah yang memulai semua ini. Aku yang bermain api di belakangnya, tapi aku juga yang menangis dan merasakan kehancuran. Detik ini juga aku menyadari betapa bodohnya diriku, meninggalkannya hanya demi kebahagiaan semu.
YOU ARE READING
Broken Chord
RandomHello, Sobat KOMA! KOMAwriters proudly present our 3rd project. Project KOMA kali ini adalah hasil dari tulisan-tulisan cerita pendek penulis KOMA yang menggunakan lirik dan alunan lagu sebagai dasar dari ide cerita yang kami tulis. Berbeda dengan s...