It's You

82 12 0
                                    


Oleh                       : Dhea Shafitrie

Story based on :  Coldplay - Fix You

Ia terpuruk, jatuh bersimpuh di depanku. Berpuluh-puluh tetesan air mata mengaliri pipinya seiring dengan isakkan pelan yang mampu membuat hatiku pilu. Aku hanya bisa terdiam mematung, menyaksikan punggungnya yang berguncang kala isakan lolos dari bibirnya.

Aku ingin mendekat, memberi rangkulan kepadanya. Namun, aku tidak akan melakukannya sebelum ia mampu bangkit dari keterpurukannya sendiri. Bukan aku tak peduli, melainkan karena aku tak mau ia terus bergantung pada seseorang. Aku ingin melihatnya mampu berdiri dengan dirinya sendiri.

Berulang kali aku katakan kepadanya. Bahwa suatu usaha itu tak selalu berjalan lurus, tak selalu berakhir mulus dan tak selalu bisa terpenuhi. Begitu pula masalah hati. Terkadang cinta begitu kejam menjadikan seorang insan berjuang sendirian tanpa dilirik. Begitu juga dengannya, gadis yang masih saja terisak atas suatu kebenaran yang tak dapat kupastikan.

"Aku mencintai dia yang bahkan tak pernah tau rasaku." Suara itu terdengar di sela-sela isakannya. Aku terdiam, berniat untuk mendengarkan apa yang menjadikannya terisak sehebat ini.

"Dia pergi, memilih gadis lain yang sekalipun tidak ia cintai. Tapi bagaimana denganku? Aku tak mau kehilangnya. Aku tak mau semuanya berubah, apa aku egois?"

Bagai dilempar godam, hatiku terasa sangat sakit mendengar pengakuan menyakitkan itu. Apakah ada yang lebih menyakitkan dari sebuah cinta yang bertepuk sebelah tangan? Mungkin selama ini aku tak pernah merasakan hal itu. Tidak seperti dia yang masih diterjang dengan apa yang disebut dengan cinta sepihak.

"Aku mencintai dia, Alan! Sangat mencintainya. Tapi dia tak pernah mengartikan itu sebagai cinta, bahkan dia tega memilih gadis lain untuk bersanding dengannya. Membiarkan aku melenyapkan segala harapan yang telah terbangun kokoh."

Pada akhirnya aku menyerah. Aku tidak bisa membiarkannya terisak sendirian tanpa orang yang mampu menenangkannya. Dengan tekad pasti kurangkul ia, kubawa ia dalam dekapan. Mencoba menenangkannya meski isakan yang keluar semakin hebat.

"Tidak semua hal yang kamu inginkan, dapat terpenuhi. Tidak semua hal yang kamu tata sedemikian rupa akan terwujud," ujarku mencoba menenangkannya. "Mungkin kamu tidak bisa mendapatkan tujuan utama. Setidaknya kamu masih bisa mendapatkan hal lainnya."

Ia menggeleng dalam dekapanku. "Aku hanya menginginkkannya sebagai seorang kekasih. Aku tak mau mendapatkannya sebagai seorang teman."

Aku memejamkan mata mendengar kata-kata yang terucap dari bibirnya. Dia egois, dengan keinginannya. Aku tak menyalahkan keegoisan yang ada pada dirinya. Namun, adakalanya aku harus menghentikan sifat kekanakannya itu.

Jika ia terluka hari di mana ia mengetahui semua kebenarannya. Maka akan kubantu ia keluar dari rasa sakit. Akan kucoba untuk menjadikan hatinya utuh seperti sediakala. Meskipun aku tau ia akan terus menolak untuk disembuhkan.

"Kamu tidak boleh terpuruk terus-menerus. Ada hari esok yang menunggu kamu untuk bangkit. Jangan hanya karena cinta, kamu terpuruk berkelanjutan," bujukku.

Untuk kedua kalinya aku merasakan kepalanya menggeleng. "Aku tak yakin bisa menghapus perasaan itu."

"Kalo kamu tidak mencoba, siapa yang akan tau kalo sebenarnya kamu bisa melupakan semuanya," sanggahku.

"Tidak. Aku tidak bisa. Perasaan ini kuat. Aku mencintainya."

"Kamu mencintainya," gumamku pelan. "Sampai kamu lupa untuk mencintai dirimu sendiri. Sampai kamu lupa bahwa kamu itu berharga. Setidaknya untuk dirimu sendiri."

Ada jeda yang aku berikan untuk mengeluarkan kata terakhir yang mungkin saja bisa membuatnya sedikit tenang. "Untukku."

Ia berhenti terisak. Kepalanya mendongak menatapku. Ada sebuah kesedihan yang mendalam yang dapat aku saksikan dari dua pantulan bola matanya. Apakah ia benar-benar terluka? Bisakah aku memperbaiki semuanya? Menjadikan dia utuh seperti sediakala?

"Ijinkan aku untuk memperbaiki semuanya. Untuk memperbaiki luka pada hatimu. Ijinkan aku menjadi teman yang akan menghapus semua sakitmu," ucapku sungguh-sungguh.

Aku menangkap sorot kecewa pada tatapan matanya yang tertuju lurus denganku. Setetes air matanya kembali terjatuh sebelum ia mendorongku menjauh. "Bagaimana mungkin kamu mau menyembuhkan kesakitanku jika orang yang membuat aku sakit adalah dirimu sendiri? Kamu adalah orang yang berpotensi untuk membuatku terluka sangat dalam."

Aku memejamkan mata. Kini aku mengerti, akulah yang ia maksud, akulah orang yang tak membalas cintanya. Akulah orang yang menjadikannya berada di titik terendah. Namun, salahkah aku untuk menuntunnya menemukan dirinya kembali, untuk menyembuhkan segala kesakitannya, meskipun hanya sebatas teman?

"Setidaknya kita bisa menjadi teman," finalku.

Broken ChordWhere stories live. Discover now