Alysa - No! No! No!

92.5K 3.3K 81
                                    

Note: Cuma merapikan sedikit. Inti cerita nggak berubah. Bahkan scene cerita juga masih sama.  

Happy Reading & Enjoy All

Aku membanting ponselku ke atas ranjang dengan kasar. Wajahku tertekuk sebal setelah menerima panggilan itu. Oh, suara pria tua itu berdengung di telingaku. Nafasku memburu karena pembicaraan menyebalkan itu.

"Kalau kamu menikah dengan saya, maka kamu harus perbaiki sikapmu. Papamu bilang kalau kamu itu boros dan saya nggak mau itu terjadi dalam rumah tangga kita kelak. Oh ya, saya juga punya satu anak perempuan yang cantik. Saya mau kamu menyayangi dia dengan sepenuh hati walau status kamu ibu tiri. Saya akan marah sekali kalo kamu sampai membuat anak saya itu nangis bla....bla...bla."

Ugh, mengingat kalimatnya yang super kurang ajar membuatku naik darah. Siapa juga yang mau nikah sama dia? Siapa juga yang mau jadi ibu buat anak 'perempuannya yang cantik' itu? Papa lo yang mau, Al. Dan kenapa pula batinku ikut bersuara dengan nggak jelas.

Ini semua gara-gara Papa yang terus mempermasalahkan caraku mengelola uang. Aku Cuma menghabiskan 'sedikit' uang yang Papa kasih. Papa punya bisnis yang maju dan apa nominal bulananku menjadi masalah untuknya?

Papa dengan teganya malah menjodohkanku dengan salah satu koleganya. Parahnya, koleganya itu adalah duda beranak satu. Aku punya selera tentang calon suamiku kelak dan itu pasti bukan duda beranak satu. Lain cerita kalo modelnya kayak David Beckham dan aku akan menerimanya dengan senang hati.

Membayangkan duda itu jelek, wajahnya datar, perutnya buncit, rambut kepalanya sudah mulai memutih atau bahkan sudah setengah botak.... Astaga, nggak mau! Enak di duda itu karena dapet perawan tapi enek di aku karena dapet yang sudah bekas.

Membayangkan percakapanku tadi saja membuat darahku naik. Pria itu benar-benar tak tahu umur. Sudah tua tapi masih bisa berkata menyebalkan seperti tadi. Kok dulu mantan istrinya mau saja pas dinikahi sama cowok itu? matanya pasti rabun waktu itu.

Aku duduk ditepi ranjang sambil berusaha menetralkan nafasku yang memburu gara-gara pria duda tadi. Setelah ini aku memang harus segera menemui Papa untuk mengajukan proposal penolakan duda beranak satu itu. Sumpah, aku nggak mau pake banget!

Setelah jantungku berdetak normal lagi, kini aku bangun dan berjalan dengan angkuh keluar kamar. Aku membanting pintu kamar ketika menutupnya. Aku menghembuskan nafas sebelum aku membuat teriakan membahana yang mampu terdengar sampai ke tetangga sebelah.

"PAPAAAAAA!" Teriakku tanpa peduli akan diamuk tetangga karena sudah mengganggu sore cerah mereka. Beberapa detik setelah aku berteriak, aku melihat Mama lari tergopoh-gopoh dan berhenti tepat di anak tangga paling bawah.

Mama mendelik dan aku melengos. "Kamu bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Sekomplek itu bisa budeg denger teriakan cemprengmu, Al."

"Papa dimana?" Tanyaku to the point. Mama menghela nafas sejenak. "Di teras belakang. Dia lagi baca koran." Dengan kaki dihentak-hentakkan aku langsung meninggalkan Mama yang masih terbengong-bengong. Mataku langsung saja melihat keberadaan Papa sekarang. Papa lagi duduk dengan kaki bersilang sambil membaca koran yang tadi pagi belum sempat dibacanya. Di meja depan terhidang setoples cookies juga teh buatan Mama. Aku menggeleng sebal. Bagaimana mungkin Papa bisa duduk santai seperti itu sementara dia baru saja menjebloskan putri cantiknya ke dalam mimpi buruk?

Aku berjalan cepat dan langsung duduk di kursi tepat di depan Papa. Aku menatap Papa intens tapi Papa justru asyik membaca koran basi itu. Papa melirikku sekilas lalu dia kembali menatap korannya. "Jangan teriak-teriak kayak gitu lagi, Al. Papa sama Mama udah biasa tapi kasian tetangga yang harus bolak-balik ke THT."

RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang